Theresia Deka Putri
Saat
remaja seusianya disibukan dengan tren busana terkini atau artis idola,
Theresia Deka Putri tengah menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur. Kala itu, di
tahun 2002, Putri yang baru berusia sekitar 16 tahun telah bergabung dalam
sebuah tim pemasaran dalam satu perusahaan kuliner. Ia berkeliling dari satu
warung kopi, pasar dan berbagai tempat lain untuk memasarkan beragam produk
kopi dan teh produksi perusahaan tersebut.Masa lalu yang penuh kerja keras
di usia muda ini, ternyata berbuah manis. Kini di usianya yang ke-29 ini,
Putri, begitu ia biasa dipanggil, memegang tongkat komando dari perusahaan kopi
luwaknya yang beromzet miliaran rupiah, yakni CV Karya Semesta. Bahkan ketiga
komoditasnya, yakni Kopi Luwak Lanang, Lanang Landep dan Gajah Hitam, berhasil
menembus pasar Taiwan, Cina, Korea, Malaysia, Jepang, hingga Polandia.“Sejak SMP saya memang sudah
mulai berbisnis untuk tambahan jajan,” ujar perempuan yang besar di Gresik ini
ketika diwawancarai dalam sebuah talkshow di televisi swasta. Sepatu atau snack
yang dibelinya, ia jual kembali ke tetangga dan teman-temannya. “Modalnya dari
tabungan saya sejak TK,” katanya.Bisnis kecil-kecilannya ini
berlanjut hingga SMA, yang kemudian mengantarkannya pada posisi sebagai tenaga
marketing di perusahaan kuliner saat usianya masih belasan. Berkat pengalaman
keluar masuk pasar dan warung yang rutin ia jalani ditambah dengan kejelian
melihat kondisi pasar, Putri berhasil melihat satu peluang usaha yang
prospektif, yakni bisnis kopi.“Saya melihat bahwa kopi memiliki
peluang yang sangat baik. Di sepanjang jalan misalnya, dengan mudah kita bisa
menemukan warung kopi,” ujarnya.Berbekal keuntungan dari hasil
penjualan sebelumnya dan relasinya dengan para pemilik warung, sekitar tahun
2007, Putri kemudian memberanikan diri untuk menjual kopi komoditasnya sendiri.
Bermodal Rp 200 juta, ia memulai usahanya. Ia ‘meminjam’ biji kopi yang akan
dibayar belakangan, menyangrai biji kopi tersebut dengan wajan kayu dan tanah
liat, menggilingnya, kemudian ia edarkan ke warung-warung kopi. “Awalnya produk
yang dijual polosan tanpa merk,” ujarnya.Namun setelah usahanya mulai
berkembang, ia mulai membuat merk sendiri, yang bahkan memiliki identitas berbeda
dengan kopi sejenis yang berbeda di pasaran. Kopi luwak yang dipasarkannya,
khusus berasal dari hewan jantan, karena itu dinamakan Luwak Lanang. Luwak
jantan dipilih karena menurutnya jenis ini memliki enzim yang lebih kuat
sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang khas. Tak hanya satu, ia juga
melakukan diversifikasi produk dengan meluncurkan kopi Lanang Landep yang
berasal dari biji kopi berkeping tunggal (peaberry
coffee), dan Gajah hitam dari bjii kopi berukuran besar.Usahanya itu kini telah beromzet miliaran, ia juga telah memiliki
sebidang perkebunan kopi sendiri. Perusahaannya bisa menghasilkan hingga 1,6
ton kopi Luwak Lanang tiap tahun, dan angka ini belum termasuk produknya yang
lain, yang bila digabungkan bisa mencapai puluhan ton. Ia, terus memperluas
bisnisnya dengan memproduksi teh dengan merk Gambung Tea. Sejumlah penghargaan,
juga telah diterimanya, termasuk penghargaan dari Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM).
Nicholas Kurniawan
Nicholas Kurniawan adalah sosok pekerja keras
dan tak kenal lelah sejak masih kecil. Ia bahkan sudah mulai berjualan sejak
usia 8 tahun, sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tak hanya sekali
dua kali ia mengalami kegagalan dalam menjalankan sebuah usaha. Namun ia tidak
pernah sekalipun mempunyai pikiran untuk berhenti dari berbisnis.
Meskipun masih di bangku Sekolah
Dasar, namun Nicholas Kurniawan sudah banyak mencoba memulai bisnis meskipun
saat itu masih dalam skala yang kecil. Ia pernah berjualan makanan dan minuman,
namun tidak berlangsung lama dan bisa dikatakan gagal.
Ia kemudian memulai lagi namun
berganti produk, kali ini ia menjual pakaian namun sama saja, ia mengalami
kegagalan juga di bisnis ini. Meskipun sering mengalami kegagalan, namun Nicho
tidak mau disebut gagal, ia lebih suka menyebutnya belum menemukan cara yang
tepat untuk mencapai kesuksesan.
Dari berbagai bidang usaha yang telah ia jalani dan
menemui jalan kegagalan, baru pada usia 17 tahun ia menemukan #peluang usaha yang
sangat besar. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 2 di SMA Kolese Kanisius.
Ini berawal dari seorang temannya yang memberikan sepaket ikan Garra Rufa yang
biasanya digunakan untuk berbagai terapi. Nah, karena ia merasa ikan tersebut
tidak terlalu berguna baginya, ia pun iseng mencoba menjualnya di Forum
Jual-Beli di Kaskus.
Tanpa ia kira sebelumnya,
ternyata peminat ikan Garra Rufa yang ia post di Kaskus sangat banyak sekali.
Hanya dalam hitungan jam, ikan yang ia tawarkan berhasil terjual dan masih
banyak orang yang menawarnya. Melihat dari respon luar biasa dari pembeli, ia
kemudian mempelajari lebih dalam tentang ikan ini. Kemudian ia tidak lupa
bertanya pada temannya dari mana ia mendapatkan ikan tersebut. Dari situ ia
mendapatkan supplier untuk ikan Garra Rufa yang ia jual kembali secara online
melalui #Kaskus.
Dari mengelola bisnis jual beli ikan Garra
Rufa, Nicho mampu menghasilkan 2-3 juta rupiah perbulan. Kemudian bisnisnya
semakin berkembang tidak hanya fokus pada satu jenis ikan saja, namun merambah
pada segala jenis ikan hias.
Berbekal ilmu yang ia dapat dari
pekuliahan, ia kemudian mengembangkan bisnisnya dan membangun sebuah brand
dengan nama Venus Aquatics. Dari brand yang ia bangun ini, ia mampu memperoleh
pemasukan ratusan juta rupiah tiap bulannya. Dan ia mampu menjual ikan hias ke
berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.
Meskipun dari aktivitas bisnis
melalui brand yang ia kembangkan sudah berhasil mendapatkan pemasukan yang
besar, namun Nicho tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Bersama dengan
teman kampusnya, ia ingin menularkan virus kesuksesan dalam berbisnis pada
adik-adik SMA nya melalui Synergy Entrepreneur Academy. Synergy Entrepreneur
Academy adalah suatu konsep inisiasi untuk memberikan workshop #startup bisnis
bagi para siswa SMA. Dari sini Nicho Kurniawan berharap mampu mencetak 5 juta
pengusaha baru.
Hamzah Izzulhaq
Dari latar belakang keluarga menengah,
ayahnya yang seorang dosen dan ibunya sebagai guru SMP, sebenarnya secara
ekonomi Hamzah bukanlah anak yang kekurangan. Namun memang gelora jiwanya untuk
berbisnis tidak bisa dihentikan.
Dulu ketika masih SD ia berjualan
pada teman-teman sebayanya sekedar untuk menambah uang saku atau uang untuk
jajan. Hamzah sendiri mengaku mulai serius menjalankan sebuah bisnis yaitu
ketika ia duduk di bangku SMA waktu itu masih kelas 1.
Saat itu ia mencoba peruntungan
dengan menjadi penjual pulsa dan pasar targetnya tetap teman-teman di
sekolahnya. Selain menjual pulsa, Hamzah juga menjual buku. Kebetulan pamannnya
adalah seorang karyawan di sebuah toko buku besar. Ia kemudian melobi pamannya
untuk menjadi distributornya dengan memberikan diskon sebesar 30%. Saat itu
Hamzah mampu mendapatkan pemasukan sebesar Rp. 950.000 per semester,
penghasilan yang lumayan untuk anak SMA kala itu.
Setelah beberapa kegagalan dalam bisnisnya
Hamzah sedikit merenung dan melakukan interspeksi diri. Tak mau berlama-lama
dalam penyesalan, ia pun kemudian mencoba berbisnis makanan. Ia pun mulai
menjual snack, kue atau pizza di sekolahnya.
Keuntungan yang dapat ia peroleh
saat itu adalah 5 juta rupiah. Pada pertengahan kelas 2 SMA, ia mendapatkan
peluang bisnis yang lebih besar dan lebih menjanjikan saat ia mengikuti seminar
dan komunitas bisnis pelajar dengan judul Community of Motivator and
Entrepreneur (COME).
Di situ ia bertemu dengan mitra
bisnis yang menawarkan franchise bisnis bimbel bernama Bintang Solusi Mandiri.
Kebetulan ada salah satu cabang bimbel yang akan di take over dengan harga jual
Rp. 175 juta.
Tentu saja angka yang cukup besar bagi
seorang Hamzah Izzulhaq, namun tidak kurang akal, ia kemudian memberanikan diri
meminjam uang sebesar 70 juta pada Ayahnya. Dengan modalnya sendiri 5 juta
ditambah uang dari ayahnya 70 juta ia bisa mengakuisisi bimbel tersebut dengan
kesepakatan kekurangan 100 juta akan ia cicil setiap semester nantinya.
Alhasil bisnis bimbelnya
berkembang dengan pesat dan mampu menghasilkan nett provit 180 juta per
semesternya. Ia lalu melebarkan sayap bisnisnya dibidang furnitur dengan fokus
di bidang sofa bed. Ia pun melegalkan bisnis nya sejak tahun 2011 di bawah bendera
CV Hamasa Indonesia dan ia sendiri sebagai direktur utamanya. Perusahaannya
pada tahun 2013 mampu meraup omzet 100 juta perbulan dari keseluruhan
bisnisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar