September 11, 2021

STRATEGI PENGELOLAAN SDM DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN BERKELANJUTAN DI ERA INDUSTRI 4.0

 PUTRI AULIA   @S18-PUTRI

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia dinilai sudah menjadi basis produksi manufaktur terbesar di ASEAN. Hal ini seiring dengan upaya pemerintah saat ini yang ingin mentransformasi ekonomi agar fokus terhadap pengembangan industri pengolahan nonmigas. Hal  ini  dibuktikan  dengan  angka  Manufacturing  Value  Added (MVA) di industri manufaktur yang menduduki posisi paling atas di antara negara - negara ASEAN dengan nilai sebesar 4,5%. Pertumbuhan yang berkelanjutan ini harus dipastikan bahwa perusahaan memiliki SDM  yang  berpengetahuan,  kemampuan,  dan  kompetensi  untuk  bekerja  secara  efektif  pada  lingkungan  yang  dinamis dan semakin kompleks. Dengan demikian, penting bagi perusahaan untuk mempunyai program  pengembangan  SDM  bukan  hanya  mengejar  tujuan  bisnis  semata,  namun  bagaimana  tumbuh  secara  berkelanjutan.

Tumbuh berkelanjutan (sustainable growth) di era industri 4.0 tentu berbeda dengan era sebelumnya. Era Industri 4.0 ini memberikan tantangan yang lebih banyak menyinggung area teknologi, terutama teknologi nirkabel. Mobil otomatis tanpa supir, sektor retail yang tidak membutuhkan SDM lagi bahkan pelayanan pelanggan dengan menggunakan  robot  akan  menjadi  pemandangan  yang  lumrah  di  era  4.0  ini.  Oleh  karena  itu,  sangat  penting  memberikan ruang untuk SDM yang fasih menggunakan teknologi tersebut, yaitu kaum milenial dan gen Z.PermasalahanDi era industri 4.0 ini, gelombang pekerja yang berumur 18 s/d 30 tahun telah memasuki angkatan kerja. Kelompok kerja ini disebut kaum milenial, yang identik dengan perkembangan teknologi.


II. METODE PENELITIAN

Metode  penelitian  ini  adalah  analisis  diskriptif  dengan  menguraikan  data-data  yang  didapat  dengan  cara  melalui studi kepustakaan dan selanjutnya di formulasikan dari hasil studi kepustakaan untuk di analisis.

 

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Era Fenomena   Industri   4.0   diperkenalkan   pertama   kali   pada   tahun   2011   di   Jerman.   Konsep   4.0   ini   memperkenalkan revolusi teknologi yang menggunakan sistem nirkabel (physic cyber system), internet of things(IoT), dan interaksi informasi antara manusia ke mesin ataupun mesin ke mesin.  Era  Industri  4.0  ini  telah  mengubah  kondisi  kerja  dengan  otomatisasi  dan  kecerdasan  buatan  (artificial intelligence). Teknologi 3D printing, kendaraan otomatis tanpa supir, toko retail tanpa pegawai menjadi contoh praktis dari revolusi industri 4.0. Aspek positif dari industri 4.0 ini adalah penciptaan nilai tambah (value creation) hingga pada proses kerja yang lebih efisien dan perumusan model bisnis yang baru. Namun perubahan teknologi  ini  juga  menyisakan  beberapa  hal  negatif,  dalam  hal  ini  yaitu  perubahan  pekerjaan,  kemampuan  kerja, dan cara bekerja. Banyak pekerjaan yang akan hilang dan digantikan dengan teknologi. Dengan demikian tantangan ini harus dihadapi dengan cara melakukan adaptasi pada sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Era Industri 4.0 tidak dapat hanya dilihat dari segi teknologi robotik ataupun otomatisasi produksi, namun harus dilihat dari secara keseluruhan pada proses bisnis, mulai dari tahap pembelian material, proses produksi, hingga distribusi ke pelanggan. Di semua area ini, otomatisasi proses dibutuhkan, agar pekerjaan berjalan lebih efisien sehingga menjadi competitive advantage. Dengan adanya otomatisasi termasuk dalam hal pengumpulan dan  berbagi  informasi,  proses  pengambilan  keputusan  menjadi  lebih  cepat.  Walaupun  dengan  kondisi  serba  otomatis  ini,  manusia  tetap  memperoleh  bagian  dalam  proses  bisnis  digitalisasi  ini  yaitu  sebagai  pemilik  otak  yang kan selalu menciptakan produk baru atau pun solusi baru.



 

Sumber Daya Manusia di Era Industri 4.0

Industri  4.0  yang  sarat  dengan  teknologi  ini  menjadi  tantangan  tersendiri  bagi  SDM  yang  akibat  proses  transformasi sosial (Schaar et al., 2019). Secara demografis, perubahan terjadi mulai dari berkurangnya SDM yang mempunyai pengetahuan kerja yang tetap (immanent knowledge) dan mengancam keberadaan pekerja yang minim kemampuan. Di lain pihak, satu generasi pekerja milenial mulai memasuki pasar tenaga kerja. Sampai  hari  ini  pekerja  dengan  rentang  umur  40  s/d  60  tahun  mengambil  proporsi  besar  di  angkatan  kerja. Jika era pekerja dengan rentang ini berakhir, maka jumlah pekerja yang memiliki kemampuan kerja yang mumpuni akan berkurang signifikan. Setelah era ini, pekerja kelahiran 1980-an dan 1990-an akan mengambil alih pasar tenaga kerja. Dalam situasi ini, banyak perusahaan sedang berusaha merekrut dan menahan (retain) tenaga kerja yang berpotensi besar di masa depan. Milenial mempunyai karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Adapun beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas milenial adalah sebagai berikut :

 Milenial selalu tampil percaya diri. Mereka percaya diri dengan kemampuan mereka dan antusias untuk menyongsong masa depan pekerjaan

·         Milenial menganggap pekerjaan sosial dan kerjasama tim akan menghasilkan output yang baik. Dengan demikian mereka dapat bekerja secara tim

·         Milenial  menginginkan  atmosfer  kerja  dimana  mereka  mendapat  kepercayaan  dan  kebebasan  dari  atasannya. Disamping itu mereka cenderung ingin bekerja di tempat kerja dengan image dan lingkungan kerja yang nyaman (misalnya perabotan yang bagus, gedung prestisius, dll)

·         Milenial  tidak  menyukai  deskripsi  kerja  yang  monoton.  Mereka  senang  belajar  dan  mengalami  hal  baru

·         Fleksibilitas  dalam  hal  waktu  kerja  dan  tempat  kerja  menjadi  dambaan  milenial.  Mereka  mahir  menggunakan teknologi komunikasi untuk menunjang fleksibilitas kerja

·         Milenial  cenderung  menyukai  aspek  kekeluargaan  dari  komunitasnya  ataupun  lingkungan  kerjanya.  Mereka juga menjunjung tinggi work life balance untuk kehidupan sosial mereka

·         Milenial cukup tegas dengan istilah loyalitas. Selama perusahaan memberikan tawaran dan memenuhi apa yang mereka butuhkan, mereka cenderung tidak akan berganti pekerjaan

·         Milenial  tidak  mempunyai  isu  tertentu  dengan  pemberian  gaji.  Gaji  yang  baik  itu  bagus,  namun  pengembangan diri untuk milenial, lebih mereka harapkan

 

 

Teori Sumber Daya Manusia (Human Capital Theory)

Melalui dasar teori sumber daya manusia, mendefinisikan human  capital  sebagai pengetahuan  dan  kemampuan  kerja  yang  diperoleh  melalui  pendidikan  dan  pelatihan.  Teori  ini  menjelaskan  bahwa kapabilitas dan produktivitas organisasi bergantung pada kapabilitas dan kemampuan spesifik dari SDM-nya.  Teori  ini  menekankan  pada  pentingnya  investasi  pada  SDM  dalam  hal  kebutuhan  akan  pengetahuan  dan  kemampuan  kerja.  Hal  ini  memberikan  implikasi  terhadap  kemampuan  organisasi  dalam  attracting,  engaging,  rewarding  dan  developing  SDM  di  organisasi.  Teori  ini  percaya  bahwa  dengan  SDM  yang  unggul  maka  akan  menjadikan organisasi tersebut unggul.Pengembangan SDM tidak hanya serta merta mengenai pengembangan kompetensi semata. Pengembangan budaya  dan  iklim  organisasi  juga  menjadi  penting  untuk  mendukung  kinerja  SDM,  karena  adanya  perbedaan  persepsi  dan  motivasi  para  SDM  dalam  bekerja. 

Budaya organisasi sangat mempengaruhi perilaku SDM-nya melebihi sistem kontrol yang formal seperti prosedur  dan  otoritas.  Dengan  demikian,  penting  bagi  pemimpin  di  bagian  HR  untuk  membentuk  budaya  organisasi  yang  kuat  dan  sesuai  dengan  strategi  organisasi  yang  akan  digunakan.  Ketika  SDM  telah  mengenal  budaya organisasinya, maka cara kerja akan menjadi lebih akrab bagi SDM dan meningkatkan moral, semangat, kerjasama tim, pembagian informasi, dan penerimaan ide baru. Menurut Schneider, Ehrhart and Macey (2012), pendekatan budaya yang berbeda akan menghasilkan nilai dan perilaku yang berbeda pula. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Ada 4 tipe budaya yang dikemukakan berserta nilai yang diharapkan, yaitu Clan (internal dan fleksibel pada karyawan), Adhocracy (eksternal dan fleksibel pada pertumbuhan organisasi), Market (eksternal dan stabil dengan fokus kompetisi), dan Hierarchy (internal dan stabil dengan fokus struktur organisasi). Secara detail dapat dilihat pada Competing Values Framework (CVF) Tabel 1. CVF ini menggambarkan budaya yang muncul dalam perusahaan dan dengan tujuan yang berbeda bahwa variabel budaya tidak muncul secara random, namun cenderung mengacu pada keberhasilan yang ditetapkan oleh organisasi. Penetapan tersebut harus berfokus pada asumsi, keyakinan (beliefs), nilai-nilai (values), dan perilaku (behavior) yang diharapkan. CVF ini memiliki dimensi yang saling terkait dengan indikator efektivitas organisasi, diantaranya perilaku karyawan (employee attitudes), kinerja operasi (operational performance), kinerja keuangan (financial performance). Skema pada CVF telah terbukti berperilaku seperti yang telah diprediksi, sebagai contoh organisasi  dengan  budaya  Clan  akan  memiliki  karyawan  yang  lebih  puas  dan  memiliki  komitmen,  di  lain  hal  mempunyai operasional yang baik dan kinerja keuangan yang baik pula.

 

Tantangan generasi pekerja dan pengelolaan SDM di era 4.0

Pengelolaan SDM di era 4.0 harus dilengkapi dengan strategi  yang  tepat  sehingga  menghasilkan  tindakan  yang  tepat  dalam  mencapai  tujuan  organisasi.  Persaingan  semakin ketat, kebutuhan SDM berkualitas yang dapat mendukung pencapaian goal perusahaan sangat penting, dan kemampuan perusahaan dalam mengelola karyawan yang memiliki nilai sehingga termotivasi dan mengeluarkan kemampuan  terbaik  menjadi  poin  utama  yang  harus  dimiliki  dalam  rangka  mencapai  Sustainable  Competitive Advantage.Pengembangan framework pada Business Model Delta Airlines yang dibuat untuk menggambarkan 5 driver utama  dalam  meningkatkan  core  competency  karyawan,  seperti  Internal  Promotion,  Extensive  Training,  High Pay,  Non-union  dan  Flexible  Work  Rates,  dan  digabungkan  dengan  The  Competing  Values  Framework  untuk  mengakomodasi budaya perusahaan, menjadi sangat significant karena 5 driver bisnis model Delta Airlines bersifat sangat umum dan hampir dimiliki oleh mayoritas perusahaan. Sehingga, sebuah driver utama lainnya yang berasal dari The CompetingValues Framework dapat dijadikan sebagai strategi perusahaan dalam mengelola SDM yang tidak hanya terbatas pada penyediaan kebutuhan utama dan teknologi, melainkan juga mengakomodasi SDM yang terlibat dalam pekerjaan dan organisasi. Salah satu driver utama yang dapat dipakai adalah dengan menciptakan Organization Cultureand  Climate  yang  tepat  bagi  perusahaan,  yang  dapat  bertindak  sebagai  identitas  maupun  sarana bagi perusahaan dalam mengelola SDM yang terdiri dari multi generasi di era 4.0.

 

Strategi pengelolaan SDM peningkatan kinerja perusahaan Berkelanjutan di era 4.0

Karakteristik angkatan kerja pada era 4.0 yang dikenal milenial yang sulit mengubah kelemahan menjadi kesempatan untuk berkembang diri sehingga fit terhadap pekerjaan dan organisasi yang juga terus berkembang. Oleh  karena  itu,  perlu  suatu  strategi  pengelolaan  SDM  yang  tepat  untuk  mengatasi  angkatan  kerja  milenial  ini  agar  dapat  memberikan  kinerja  terbaik  untuk  perusahaan  sehingga  perusahaan  dapat  terus  bertumbuh  secara  berkelanjutan.  Pengelolaan  SDM  yang  baik  harus  dimulai  dari  bagaimana  mempersiapkan  sistem  kerja  yang  dapat menunjang performansi kerja terbaik. Ciri-ciri sistem kerja dengan performansi tinggi yaitu pengembangan kemampuan  kerja/skills  yang  diperlukan  untuk  menyelesaikan  tugas  yang  diberikan,  menetapkan  kebijakan  remunerasi dan manajemen kinerja, serta memberikan motivasi (Armstrong, 2008).Strategi  pengelolaan  SDM  yang  berfokus  pada  peningkatan  kinerja  perusahaan  dapat  dianalisis  dengan  model AMO (Ability, Motivation, Opportunity). Setiap karyawan akan memberikan performansi apabila memiliki 3 aspek, yaitu :

·         Kemampuan  (Ability),  yaitu  kemampuan  untuk  melakukan  tugas  karena  memiliki  pengetahuan,  kemampuan kerja / skill, dan bakat. Karyawan dapat memberikan performansi terbaiknya bila dilengkapi dengan kemampuan kerja yang baik (skilled), mempunyai pengalaman akan solusi masalah (experienced), mempunyai komitmen terhadap apa yang dikerjakan  (committed),  dan  antusias  dalam  mengerjakan  tugas  yang  diberikan  (motivated). 

·         Motivasi  (Motivation),  yaitu  keinginan  untuk  melakukan  tugas  atas  keinginan  sendiri  atau  merasa  harus melakukan tugas tersebut. Karyawan  harus  diberi  motivasi  dengan  membangun  budaya  dan  iklim  organisasi  yang  mendukung  pertumbuhan  bisnis.  Peningkatan  motivasi  internal  dan  kreativitas  dapat  meningkatkan  efektivitas  dalam  pengambilan  keputusan,  terutama  dalam  penerapan  teknologi  informasi  dan  komunikasi  yang  terbaru  (Stock  and Seliger, 2016). Budaya dan iklim organisasi harus dapat menanamkan semangat untuk bertumbuh (Growth), berusaha  untuk  bekerja  lebih  baik  (Stimulation),  memiliki  kemampuan  untuk  melihat  dan  melakukan  dengan  pendekatan  berbeda  (Variety),  dan  mandiri  dalam  berusaha  (Autonomy). 

·         Kesempatan  (Opportunity),  yaitu  struktur  pekerjaan  dan  lingkungan  yang  mendukung  serta  tempat  untuk mengekspresikan diri. dimana  karyawan  yang  sudah  termotivasi  harus  diberikan  kesempatan  untuk  berkembang  dan bertumbuh, yaitu memberi kesempatan dalam pengambilan resiko (Risk taking). Pengambilan resiko menjadi salah  satu  media  pembelajaran  yang  baik  dalam  menghasilkan  performansi  karyawan  yang  baik.

 

IV. KESIMPULAN

Peningkatan kinerja SDM yang berkelanjutan pada organisasi di era 4.0 dapat dilakukan dengan menerapkan strategi pengelolaan SDM yang berfokus pada peningkatan kinerja perusahaan. Model AMO (Ability, Motivation, Opportunity) merupakan model yang sesuai untuk digunakan dalam menghadapi tantangan organisasi di era industri 4.0, karyawan akan memberikan performansi yang optimal dalam bekerja  di  organisasi  apabila  ketiga  aspek  tersebut  telah  dimiliki.  Organisasi  yang  memberikan  peningkatan kompetensi karyawan, memiliki kultur organisasi yang baik, dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.litbang.kemkes.go.id:8080/handle/123456789/63932

https://ojs.unud.ac.id/index.php/Manajemen/article/download/4507/3436

https://journal.binus.ac.id/index.php/BECOSS/article/view/6252

https://osf.io/preprints/inarxiv/stw6q/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar