Abstract
Partnership
becomes one of the main asset which used by the enterprise to achieve a
sustainable competitive advantage. Through the partnership, the enterprise can
develop their capabilities which cannot be developed by their own. A strategic
alliance and joint venture is a popular way used by the enterprises in
developing their partnership. Some researcher also mentioned about merger and
acquisition as another form of partnership but more permanent in nature.
This article specifically aim to measure a potency of
partnership as a vehicle in increasing innovation capabilities and technology
within an enterprise in their effort to set up competitiveness. In particular,
it is identified that a prerequisite to achieve innovation capability and
technology enhancement were depend on an ability to gain, adopt, and transfer
knowledge from the partner.
1. Pendahuluan
Saat ini
perusahaan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya yang dimilikinya dalam
mencapai keunggulan daya saingnya. Perusahaan harus melakukan kemitraan bisnis
dengan berbagai pihak, baik dengan supplier, distributor bahkan dengan
konsumennya. Kondisi ini terutama dihadapi oleh perusahaan yang ingin meluaskan
aktivitasnya ke pasar internasional atau global. Dengan melakukan kemitraan
perusahaan memperoleh beberapa manfaat penting yaitu akses terhadap pasar,
teknologi serta kapital (hal ini terutama jika perusahaan bermitra dengan mitra
yang memiliki kapital yang besar). Selain itu, dengan melakukan kemitraan
perusahaan dapat juga memperoleh peluang untuk melakukan inovasi, knowledge
creation serta meningkatkan kapabilitas organisasi maupun sumber daya manusia.
Beberapa pola kemitraan yang biasanya digunakan oleh
perusahaan adalah melalui aliansi strategis dan joint venture. Aliansi
strategis merupakan kemitraan bisnis yang melibatkan perusahaan dengan mitra
dalam rangka meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya
eksternal secara sinergis dan melalui proses perubahan dan pembelajaran
(Hoffman & Schlosser 2001 dalam Wahyuni, 2003). Seperti halnya aliansi
strategis, joint venture merupakan salah satu bentuk kemitraan bisnis yang
bertujuan memperkuat kemampuan perusahaan untuk bersaing (Thompson, Stricland
and Gamble, 2010). Joint venture merupakan kemitraan bisnis dalam hal dua
perusahaan atau lebih ’menyatukan’ sumberdaya-nya secara legal (Kogut, 1998).
Kemitraan tersebut pada gilirannya akan memberikan pengaruh
bagi kedua belah pihak, baik secara positif maupun negatif. Secara positif,
perusahaan dan mitranya dapat mengakses pengetahuan dan peluang melakukan
inovasi, meningkatkan kapabilitas anggota organisasinya serta dapat mengakses
kapital dan pasar bagi perluasan pemasaran produk maupun jasa. Secara negatif,
kemitraan dapat membuat perusahaan memiliki ketergantungan pada mitranya. Dalam
beberapa kasus, kemitraan tersebut lebih banyak memberikan manfaat bagi
perusahaan yang terlibat. Pertanyaan yang ingin dielaborasi dan dideskripsikan
dalam research paper ini adalah: ”Bagaimana potensi kapabilitas inovasi dan
teknologi dapat diraih oleh perusahaan melalui kemitraan”.
2. Literatur
Review
Bagian ini akan membahas literatur
kemitraan yang dapat dikatakan sebagai salah satu moda strategis perusahaan
dalam mencapai keunggulan daya saing lestari. Pembahasan akan diawali oleh
definisi kemitraan dan jenis-jenisnya, faktor-faktor yang mempengaruhi,
motivasi, tujuan yang ingin dicapai.
Partnership
(kemitraan) merujuk pada Mohr dan Spekman (1994) adalah hubungan strategik yang
secara sengaja dirancang atau dibangun antara perusahaan-perusahaan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, manfaat bersama dan saling
kebergantungan yang tinggi. Melalui kemitraan ini kedua perusahaan dapat mengakses
teknologi baru atau pasar baru; kemampuan untuk menawarkan produk atau jasa
yang lebih luas; skala ekonomi dalam riset atau produksi bersama; akses
terhadap pengetahuan; berbagi resiko dan akses atas komplementari skill (Powel
1987 dalam Mohr and Spekman, 1994). Sementara itu, menurut Lambe et al (2000)
sebagaimana dikutip Wittman et al (2009), aliansi bisnis as ”collaborative efforts between two or more firms in which the firms
pool their resources in an effort to achieve mutually compatible goals that they
could not achieve easily alone.”
Terdapat dua jenis kemitraan yang umumnya digunakan oleh
perusahaan yaitu aliansi strategis (strategic alliances) dan joint venture.
Wahyuni (2003) dalam merumuskan definisi aliansi strategis mengacu pada tiga
karakteristik penting sebagaimana dikemukakan beberapa akademisi yaitu bahwa
aliansi strategis merupakan persatuan dua atau lebih perusahaan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah disepakati secara sah; masing-masing pihak saling
membagi manfaat aliansi dan pengendalian atas kinerja yang tercapai; mitra
berkontribusi didasarkan pada satu atau lebih aspek strategis yang dianggap
penting oleh mereka, seperti teknologi atau produk. Secara lebih spesifik,
aliansi strategis dirumuskan sebagai suatu relasi kemitraan yang menggabungkan
sumberdaya dan keahlian mereka dalam mencapai tujuan-tujuan strategis yang
tidak bisa dicapai jika mereka hanya seorang diri (Wahyuni, 2003). Aliansi
strategis sangat berpotensi meningkatkan dinamika kapabilitas sebuah perusahaan
melalui proses organizational learning (Mowery et al, 1996). Banyak akademisi
yang menyatakan bahwa dengan menggunakan aliansi perusahaan dapat memperoleh
kapabilitas teknologi-based dari mitranya (Kogut, 1988; Hamel, Doz, and
Prahalad, 1989; Cohen and Levinthal, 1990; Hamel, 1991 dalam Mowery et al,
1996). Moda aliansi strategis pada dasarnya muncul dalam transaksi bisnis
internasional ketika join venture tidak diadopsi lagi karena kesulitan
mengakses mitra di pasar luar negeri.
Join venture (JV) merupakan moda
lain yang umumnya digunakan juga oleh perusahaan. JV digunakan ketika
keduabelah pihak (perusahaan dan mitranya) bergabung untuk membangun sebuah
perusahaan baru yang porsi kepemilikannya sama antara keduanya (Glaister &
Buckley, 1998). Setiap perusahaan yang tergabung akan mengharapkan proporsional
pembagian deviden yang sama sebagai kompensasi dan representasi dewan direksi.
Menurut Harrigan (1985), fokus utama dalam pembahasan mengenai JV adalah ’anak
perusahaan’ yang dihasilkan dari gabungan kedua perusahaan utama (parent
company). Kedua perusahaan utama tersebut terlibat secara aktif dalam pemodalan
serta pengambilan keputusan di anak perusahaan yang baru tersebut.
Banyak peneliti dan akademisi yang seringkali menghubungkan
antara JV (terutama international joint venture) dengan aliansi strategis
(Wahyuni 2003), padahal terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara JV dengan
aliansi strategis. Perbedaan tersebut adalah:
− JV
hubungannya lebih dekat daripada aliansi
− JV
memiliki fokus yang lebih strategis daripada aliansi
− JV lebih
fokus pada pencapaian keunggulan daya saing daripada aliansi
− JV
memberi kontribusi yang lebih besar pada strategi produk dan pembelajaran
daripada aliansi
− JV
membutuhkan keahlian yang lebih besar daripada aliansi
− Terdapat
perbedaan yang rendah dalam hal transfer keahlian antara keduanya
Terlepas dari persamaan maupun
perbedaannya, saat ini JV maupun aliansi strategis menjadi salah satu tools
penting bagi perusahaan dalam membangun keunggulan daya saingnya dan dalam
rangka memenangkan persaingan di industrinya. Beberapa aspek stratejik dapat
diperoleh perusahaan dengan melakukan kedua hal tersebut sebagai bagian dari
sebuah kemitraan. Aspek stratejik tersebut adalah peningkatan pengetahuan
perusahaan - maupun mitra - (Nielsen, 2005) yang dapat
memudahkan mereka
melakukan inovasi (Hall et al, 2001), meningkatkan kapabilitas teknologi mereka
serta efisiensi untuk mencapai menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas
(Bello et al, 1999).
Menurut Wittman el al (2009) sebuah kemitraan dapat
memberikan manfaat dan dampak positif bagi kedua perusahaan yang terlibat jika
menggunakan pendekatanpendekatan sebagai berikut dijalankan, yaitu:
1.
Pendekatan berbasis sumberdaya. Pendekatan ini
menekankan pada sumberdayayang dimiliki perusahaan. Sumberdaya dalam hal ini
bermakna segala hal yang dimiliki perusahaan - baik nyata maupun tidak nyata -
yang memampukan perusahaan melakukan proses produksi secara efektif dan efisie.
Terdapat tiga cara untuk mengakses sumberdaya, yaitu
a)
Dengan cara mengembangkannya (baik secara mandiri
maupun bersamadengan perusahaan lain)
b)
Mengakuisisi-nya (misalnya melalui merger dan akuisisi)
c)
Memperoleh cara untuk mengakses sumberdaya tersebut
(misalnya melaluikemitraan dan aliansi)
2.
Pendekatan berbasis kompetensi. Kompetensi adalah
kemampuan untuk mempertahankan koordinasi pemanfaatan aset perusahaan yang
digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Karakteristik kompetensi lebih luas
daripada pandangan resource-based yaitu bersifat tacit, kompleks, ke-khas-an
sebuah perusahaan, sebagai sumber keunggulan daya saing, merupakan sebuah
proses learned by doing. Sebuah kompetensi tercipta atas dasar keterlibatan
hubungan yang kompleks diantara keahlian-keahlian individu yang melekat dalam organisasi.
3.
Pendekatan faktor relasional. Hal ini merentang antara
pertukaran relasi dandiskrit. Pandangan ini beranggapan bahwa keberhasilan
pertukaran relasional merupakan hasil dari beberapa karakteristik hubungan
yaitu aspek percaya, komitmen, kerjasama dan komunikasi.
Lebih lanjut, hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa peran sumber daya komplementer dan idiosinkratik
sangat penting bagi sebuah kemitraan. Meskipun demikian, Wittman et al (2009)
menyatakan bahwa adanya komplemterisasi sumberdaya antar mitra tidak serta
merta menjamin keberhasilan sebuah kemitraan. Kemitraan akan lebih bernilai
apabila para mitra melakukan penggabungan sumberdaya yang saling melengkapi
untuk menciptakan sumberdaya yang baru, yaitu sumberdaya istimewa. Sumberdaya
istimewa inilah yang akan mendorong perusahaan mencapai posisi unggul dalam
persaingan.
Keputusan perusahaan untuk menggunakan JV maupun aliansi
strategis dipengaruhi beberapa hal. Menurut Varadarajan dan Cunningham (1995)
faktor-faktor yang seringkali mempengaruhi sehingga perusahaan menggunakan JV
atau aliansi strategis (disebut dengan antecedents) adalah karakteristik
spesifik perusahaan dan industri, faktor-faktor lingkungan. Secara spesifik,
masing-masing antecedents tersebut ditampilkan dalam Bagan berikut.
Tabel 1. Antecedents yang Mempengaruhi Kemitraan.
Firm |
- |
Product-market diversity of firm |
|
- |
Size and resources position |
|
- |
Prior involvement in SA |
|
- |
Top management attitudes |
|
- |
Corporate culture |
|
- |
Decline in Performance |
|
- |
Threat of Takeover |
Industry |
- |
Minimum efficient scale |
|
- |
Convergence of industries and associated cost of product
development |
|
- |
Speed of Entry to market |
|
- |
Cost structure |
|
- |
Threat of new entrants |
|
- |
Threat of competition from substitutes |
|
- |
Reduced opportunities for merger & acquisition |
|
- |
Lack of success in previous MA |
|
- |
Changes in Product Life Cycle |
Environment |
- |
Changes in Consumer Behavior |
|
- |
Degree of market uncertainty |
|
- |
Rate of technological change |
|
- |
Breadth of competencies/skills required |
|
- |
Political, legal and regulatory environment |
|
- |
Growing cost of technology |
|
- |
Changes in cost of money |
|
- |
Increased global competition |
|
- |
Emergence of Regional trading blocs |
Ketiga antecedent tersebut
merupakan faktor-faktor eksternal yang berada di lingkungan usaha perusahaan.
Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, perusahaan perlu menyikapi secara
strategis setiap perubahan tersebut. Filosofi itulah yang menyebabkan perusahaan
perlu melakukan kolaborasi, kemitraan ataupun kemitraan dengan berbagai pihak -
terutama yang terkait langsung dengan elemen-elemen dalam rantai nilai
perusahaan.
Sementara itu, motif yang
mendasari perusahaan melakukan kemitraan atau kemitraan bisnis menurut beberapa
akademisi (Kogut 1988; Glaister 1996; Varadarajan & Cunningham 1995;
Bortodo 1990; Howarth 1994 dalam Hynes & Mollenkopf, 1998) berkaitan dengan
keunggulan biaya (cost advantage), pengurangan resiko dan ketidakpastian,
perusahaan ingin menjadi organisasi pembelajar, pengelolaan pada struktur
industri serta aspek waktu yang tepat.
Motif-motif tersebut sejalan
dengan teori-teori pendukung misalnya usaha untuk mencapai keunggulan biaya
mendapat penjelasan dari teori transaction cost economies. Sedangkan, motif
untuk mengurangi resiko dan ketidakpastian didukung oleh teori resource
dependency. Filosofi mendasar dari adopsi partnership yang dilakukan oleh
perusahaan adalah: untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan usaha perusahaan
untuk mempengaruhi lingkungannya (Varadarajan, Clark & Pride, 1992).
Sementara itu, terdapat kurang
lebih empat teori utama (Hynes & Millenkopf, 1998) yang melandasi keputusan
perusahaan menggunakan kemitraan (partnership) sebagai strateginya dalam usaha
mencapai keunggulan daya saing di industri. Teoriteori tersebut adalah
transactions cost economies (TCE), resource depedency (RD), organizational
learning (OL) dan strategic behavior (SB). Berikut penjelasan dari keempat
teori tersebut. Transactions Cost Economy (Williamson, 1979). Menurut teori ini
perusahaan beraliansi untuk meminimalisir biaya dan resiko. Melalui kemitraan
yang dibangun perusahaan berharap dapat tetap mencapai keunggulan daya saing
dengan biaya dan resiko yang minim.
Resource Dependency (Glaister, 1996). Menurut teori ini, perusahaan
memiliki keterbatasan dalam sumberdaya, oleh karena itu harus bekemitraan untuk
mengakses sumberdaya utama. Dengan menjalin kemitraan, perusahaan pada dasarnya
tidak hanya mendapat akses terhadap sumberdaya utama akan tetapi juga
memperoleh pengetahuan dan kapabilitas yang merupakan sumberdaya penting bagi
perusahaan dalam usahanya unggul di industrinya.
Organizational Learning. Kemitraan akan menstimulasi proses belajar
serta media pembelajaran. Pengetahuan menjadi alat untuk mempertahankan dan
memperoleh kompetensi (Kogut, 1988). Melalui kemitraan - khususnya aliansi
stratejik - perusahaan dapat memperoleh pengetahuan penting sebagai sumberdaya
utama pencapaian keunggulan daya saing (Nielsen, 2005). Berdasarkan berbagai studi
yang telah dilakukan mengenai hubungan antara pengetahuan yang diperoleh
perusahaan dengan aliansi stratejik, Nielsen (2005) merangkumnya dalam Tabel 2.
Strategic Behavior : perusahaan melakukan aliansi karena mereka
yakin moda ini akan memberikan kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan
stratejiknya (Kogut, 1988).
Menurut Wahyuni (2003), terdapat kurang lebih enam manfaat
yang dapat diperoleh dari kemitraan melalui aliansi strategis yaitu: teknologi
know-how, aset finansial, persaingan, akses pasar, input, output dan pengalaman
manajemen, serta sumberdaya dan kapabilitas pelengkap.
3. Pembahasan
Bagian ini akan
mengkaji secara spesifik potensi partnership yang dilakukan perusahaan dalam
meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologinya. Sebelum membahas secara
spesifik potensi kemitraan dalam meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologi
perusahaan, berikut digambarkan bagan yang menggambarkan proses kemitraan dan
dampak yang ditimbulkannya.
Dengan memperhatikan gambar
tersebut, tampak bahwa kemitraan yang dilakukan perusahaan akan memberikan
dampak dalam hal akses terhadap teknologi dan pasar baru, penawaran produk/jasa
yang lebih luas, skala ekonomi dalam riset dan produk bersama, akses terhadap
pengetahuan dan berbagi resiko (Powell 1987 dalam Mohr and Spekman, 1994).
Dampak terhadap
Teknologi baru. Dampak pertama yang dialami perusahaan adalah mendapatkan
akses terhadap teknologi baru. Ini terutama berlaku pada kemi-
Tabel 2.
Beberapa Riset mengenai Pengetahuan dan SA.
Fokus kunci |
Riset yang telah dilakukan |
1)
Pengetahuan sebagai sumber keunggulan daya saing – fokus utama pada peran
manajemen yang efektif dalam pengetahuan antar perusahaan |
Anand and Khanna (2000), Grant
and Baden-Fuller (2002) |
2)
Pengetahuan (yang saling melengkapi) sebagai aspek kondusif pembentukan
aliansi – fokus pada motif dan seleksi mitra |
Beamish (1998), Geringer (1988),
Hitt et al. (2000) |
3) Penciptaan
pengetahuan – fokus utama pada bagaimana perusahaan dapat belajar pada mitra
dengan cara memperoleh keahlian atau sumberdaya yang tidak dimiliki
perusahaan. Isu utama adalah akuisisi pengetahuan pelengkap dan mekanisme
pengetahuan tersebut ditransfer termasuk hambatanhambatannya |
Grant (1996),
Harrigan (1985), Balakrishnan and Koza (1993), Mowery et al (1996), Kale et
al. (2000), Zander and Kogut (1995), Simonin (1999) |
4) Knowledge
absoption – fokus utama pada kapasitas organisasi untuk melakukan
internalisasi pengetahuan |
Cohen and Levinthal (1990),
Szulanski (1996), Lyles and Salk (1996) |
5) Collaborative knowledge –
fokus utama pada pengembangan keahlian dan pengetahuan yang berguna bagi
aliansi di masa yang akan datang |
Simonin (1997), Gulati (1999),
Gupta and Misra (2000), Powell et al (1996) |
6)
Pengetahuan sebagai faktor penentu evolusi aliansi – fokus utama pada
bagaimana pengetahuan diperoleh melalui aliansi |
Arino dan de la Torre (1998), Doz (1996) |
Sumber: Nielsen, 2005
Gambar 1. Proses Kemitraan dan Dampaknya bagi
Organisasi
traan antara
perusahaan yang memiliki tingkatan teknologi yang berbeda. Kemitraan seperti
ini umumnya terjadi pada perusahaan di industri ICT (Information and
Communication Technology). Bloomqvist (2002) menuliskan bahwa industri ini
penuh dengan ketidakpastian dan kompleks sehingga perusahaan besar membutuhkan
perusahaan kecil untuk melengkapi pengetahuan mereka dan meningkatkan
fleksibilitas. Hal ini memunculkan kesetaraan dan saling ketergantungan diantara
kedua jenis perusahaan tersebut. Lebih jauh, Bloomqvist menyatakan bahwa dalam
kondisi demikian, maka dibutuhkan kemitraan teknologi yang asimetris. Kemitraan
teknologi yang asimetris merupakan kemitraan yang dinamis dan multi-dimensi
yang sifatnya saling melengkapi. Pengetahuan yang saling melengkapi merupakan
sumber daya saing bagi perusahaan yang saling bermitra (Burt 1992, Doz &
Hamel 1998, Powell 1998, Naphiet & Ghoshal 2000 dalam Bloomqvsit, 2002).
Prinsip saling melengkapi tersebut berarti kedua perusahaan memperoleh manfaat
atas kemitraan yang terjadi. Dalam hal ini, perusahaan besar memiliki
sumberdaya finansial, sistem distribusi pengetahuan manajemen pemasaran yang
ajeg, sementara perusahaan kecil memiliki kapabilitas yang dinamis, produk-produk
dan jasa yang inovatif yang dapat melengkapi riset dan pengembangan produk atau
jalur produk perusahaan besar. Dengan kondisi demikian, kemitraan antara
perusahaan kecil dan besar berbasis teknologi dapat dipandang sebagai kendaraan
untuk menghasilkan inovasi teknologi pada industri yang memiliki dinamika yang
tinggi.
Dampak pada akses pasar baru. Selain berdampak pada penguasaan dan
akses teknologi, kemitraan pada dasarnya akan berdampak pula pada akses
terhadap pasar baru. Hal ini terutama terjadi pada perusahaan-perusahaan yang
bermitra pada industri yang berbeda atau saling melengkapi serta kemitraan di
tingkat internasional atau global. Dalam konteks ini, kemitraan merupakan alat
dalam rangka memasuki pasar luar negeri dan sebagai alat untuk memperkuat daya
saing perusahaan di pasar internasional atau global (Thompson et al, 2008).
Melalui kemitraan ini tujuan yang ingin dicapai adalah riset bersama, sharing
teknologi, penggunaan fasilitas produksi atau distribusi bersama serta promosi
atau pemasaran bersama. Dengan kemitraan, perusahaan dapat memberikan penawaran
produk atau jasa yang lebih luas.
Kemitraan dengan dampak pada
pasar serta penawaran produk atau jasa tersebut, terutama terjadi pada
kemitraan dalam supply chain management di industri ritel. Kemitraan ini
berkaitan dengan hubungan vertikal yang terjadi di dalam rantai suplai (Mentzer
et al, 2000). Seperti diketahui rantai suplai dalam industri ritel terdiri atas
kemitraan yang multipel, oleh karena itu bermitra merupakan sebuah hal yang
penting khususnya bagi para peritel untuk mencapai keberhasilan hubngan rantai
suplai. Dalam hal ini, lebih jauh Mentzer menyatakan bahwa terdapat dua jenis
kemitraan yaitu kemitraan stratejik dan kemitraan operasional. Kemitraan
stratejik adalah kemitraan yang terus menerus, hubungan antar perusahaan jangka
panjang yang bertujuan mencapai tujuan-tujuan stratejik, yaitu menyampaikan
nilai bagi pelanggan dan keuntungan bagi mitra. Sementara itu, kemitraan
operasional adalah kemitraan yang sifatnya jangka pendek dan hanya saat
dibutuhkan untuk memperoleh bagian dengan pesaing.
Dampak pada skala
ekonomi. Dampak ketiga yang muncul karena kemitraan yang dilakukam
perusahaan adalah dampak terhadap skala ekonomi dalam riset
dan produksi.
Dampak ini diperoleh berdasarkan kemitraan dalam bidang riset dan pengembangan.
Hagedoorn (2002) menuliskan bahwa kemitraan R&D adalah kerjasama antar
perusahaan yang spesifik dimana dua atau lebih perusahaan yang bertindak
sebagai agen ekonomi dan organisasi saling berbagi aktivitas riset dan
pengembangan produk ataupun jasanya. Kemitraan seperti ini terdiri atas dua
kategori yaitu kemitraan kontraktual, seperti pakta riset dan pengembangan
bersama; dan perjanjian pengembangan bersama serta equity-based joint ventures.
Dampak terhadap risk sharing. Kemitraan yang terjadi akan
memunculkan pula pembagian resiko di antara para mitra. Hal ini disebabkan
beberapa bagian dari tanggungjawab dibagi ke para mitra. Dalam hal ini,
perusahaan perlu mengelola resiko-resiko yang muncul karena kemitraan yang
dilakukannya. Das dan Teng (1999) menyatakan bahwa terdapat dua komponen dalam
upaya pengelolaan resiko yaitu, pertama, menyadari peranan resiko yang saling
terkait dan kinerja resiko. Kedua, mengetahui macam-macam resiko yang mungkin
muncul. Kedua komponen tersebut diyakini dapat memberikan pemahaman dan arahan
bagi manajer untuk mengelola resiko yang muncul dalam kemitraan.
Dampak pada akses pengetahuan. Dampak terakhir dari sebuah
kemitraan adalah peluang bagi perusahaan untuk mengakses pengetahuan baru dari
mitranya. Kemitraan, misalnya melalui aliansi strategis, memungkinkan
perusahaan memperoleh kapabalitas teknologi dan pengetahuan dari mitranya.
Penelitian Mowery et al (1996) menemukan bahwa equity joint ventures jauh lebih
efektif memindahkan (transfer) kapabilitas daripada aliansi yang sifatnya
kontrak, seperti perjanjian lisensi. Sementara itu, daya transfer dengan
tingkatan yang lebih rendah terjadi pada kemitraan yang unilateral daripada yang
bilateral. Hal ini membuktikan bahwa struktur dan karakteristik aliansi akan
menentukan proses pembelajaran antar perusahaan, jika dalam kondisi normal.
Lebih lanjut, Mowery juga menemukan pentingnya kapasitas untuk menyerap
(absoptive capacity) kapabilitas akuisisi melalui aliansi. Selain itu,
pengalaman di bidang teknologi yang terkait merupakan faktor penentu penting
daya serap teknologi oleh perusahaan mitra.
Dengan memperhatikan penjelasan
tersebut maka dapat dinyatakan bahwa dampak-dampak yang diakibatkan oleh
kemitraan tersebut merupakan sebuah proses pembelajaran bagi perusahaan. Agar
dapat meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan, perusahaan
perlu mengelola proses pembelajaran tersebut dalam sebuah aktivitas manajemen
pengetahuan (knowledge management). Hal ini dikarenakan terdapat hubungan yang
erat antara pengetahuan dan pembelajaran. Organisasi akan mengalami pertumbuhan
- dalam hal kompetensi dan kapabilitasnya - jika ia dapat menjadi organisasi
pembelajar. Manajemen pengetahuan menjadi aspek moderator penting bagi
perusahaan dalam usahanya mencapai manfaat strategis dari sebuah kemitraan -
dalam tulisan ini adalah peningkatan kapabilitas inovasi dan teknologi. Collins
dan Hitt (2006) menyatakan bahwa kemampuan perusahaan mengelola tacit knowledge
secara efektif diantara perusahaan yang bermitra akan meningkatkan
kapabilitasnya dalam merancang strategi diferensiasi ( produk dan jasanya) dibandingkan
pesaing-pesaingnya. Secara spesifik, pengelolaan persediaan pengetahuan
(knowledge stocks) adalah tugas utama yang dihadapi oleh
perusahaan di era
ekonomi yang diarahkan oleh pengetahuan (knowledge-driven economy) seperti
sekarang ini.
Adapun sistem manajemen
pengetahuan digambarkan dalam Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan sistem
manajemen konten sebagai bagian dalam inisiatif manajemen pengetahuan, yang
dikenal sebagai Model ”3D” (Hamsal, 2009). Kegiatan ”Discover”
(pencarian/penggalian pengetahuan), ”Develop” (pengembangan/penciptaan
pengetahuan), dan ”Disseminate” (penyebarluasan pengetahuan) menjadi inti dalam
manajemen pengetahuan antar mitra. Dengan fokus kepada ketiga elemen ini,
organisasi dapat menghasilkan kapabilitas, komunikasi (koneksi), dan konten
(isi) pengetahuan tertentu yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja
organisasi. Bila ini berlangsung dengan baik, kapabilitas dan pengetahuan
organisasi serta modal insani dapat ditingkatkan.
Dalam sebuah kemitraan,
pemindahan pengetahuan (transfer knowledge) dilakukan melalui interaksi yang
berulang-ulang diantara para mitra (Lane & Lubatkin, 1998; Zahra et al
2000). Menurut Collins dan Hitt (2006) pemindahan tacit knowledge membutuhkan
tingkat kepercayaan yang lebih tinggi para mitra daripada pemindahan explicit
knowledge. Pada situasi dimana mitra perusahaan menghadapi tantangan lain,
misalnya perbedaan budaya atau rendahnya pengetahuan mitra mengenai informasi
yang tidak spesifik, maka dibutuhkan usaha yang lebih besar lagi dalam usaha
mengembangkan tingkat kepercayaan antar mitra. Selain itu, untuk meningkatkan
efektivitas pemindahan tacit knowledge dibutuhkan pula kapabilitas relasional
perusahaan yang bermitra. Berdasarkan risetnya terhadap kemitraan antara Tesco
dan Safeway, Collins dan Hitt menemukan bahwa i kedua perusahaan memperoleh
posisi yang lebih baik di industrinya. Hal ini disebabkan, melalui kemitraan
juga dikembangkan kapabilitas untuk membangun dan meningkatkan modal relasional
dalam rangka memindahkan tacit knowledge (p. 163). Secara spesifik, modal
relasional yang dimaksud bentuknya adalah komunikasi yang intensif, pertemuan
atau rapat di lokasi perusahaan dan kunjungan mitra. Selain membentuk modal
relasional, menurut kedua peneliti tersebut, hal tersebut dapat menciptakan
juga mekanisme yang bernilai dalam rangka memindahkan pengetahuan.
Peran pengetahuan pada saat ini diyakini dapat meningkatkan
kapabilitas perusahaan dan merupakan sumber kritis pengembangan sumberdaya
perusahaan. Pengembangan pengetahuan sebagai sumberdaya secara efektif dapat
menjadikannya menjadi salah satu keunggulan daya saing perusahaan (Grant,
1996). Banyak peneliti melakukan penelitian dalam upayanya mengeksplorasi peran
manajemen pengetahuan ini, khususnya dikaitkan dalam perspektif organisasi
pembelajar (organizational learning) (Nielsen, 2005). Berkaitan dengan
kemitraan - khususnya aliansi strategis - penelitian terutama dikaitkan dengan
asumsi bahwa pengetahuan akan mendukung pembentukan aliansi dan tujuan dari
aliansi, yaitu memperoleh, menyerap dan memindahkan pengetahuan (misalnya Hitt
et al, 2000; Lyles & Salk, 1996 dalam Nielsen 2005). Menyadari hal
tersebut, maka inisiatif manajemen pengetahuan dalam sebuah kemitraan merupakan
antisipasi perusahaan terhadap tuntutan faktor eksternal dan internal dalam
organisasi. Tuntutan faktor eksternal adalah kompetisi pada tingkat domestik
maupun global yang mengharuskan perusahaan mengelola aktivitas bisnisnya secara
efektif dan efisien. Sedangkan, tuntutan faktor internal
berkaitan dengan
pentingnya menciptakan kompetensi inti dan kompetensi unik perusahaan untuk
mencapai keunggulan daya saing yang lestari. Kegiatan pengelolaan pengetahuan
ini (knowledge management) merupakan kegiatan mengeksplorasi, menghasilkan,
men-diseminasikan serta menggunakan pengetahuan dalam upaya mendorong kinerja
perusahaan secara maksimal.
Agar kemitraan yang dilakukan
perusahaan dapat meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologikalnya maka
perusahaan dapat menggunakan inisiatif manajemen pengetahuan (Model 3 D). Pada
tahap Discover, perusahaan dapat melakukan eksplorasi berbagai pengetahuan yang
dimiliki mitra baik yang sifatnya tacit maupun eksplisit. Pada tahap ini
aktivitas yang dilakukan adalah mengumpulkan/menggali informasi, ketrampilan,
dan pengalaman dari individu kunci di perusahaan mitra.
Tahap Develop adalah merupakan
tahap dalam hal menghasilkan atau mengembangkan sebuah pengetahuan yang berasal
dari kondisi nyata di organisasi. Penciptaan atau pengembangan pengetahuan ini
akan mendukung kapabilitas organisasi dan peningkatan modal insani organisasi.
Tahap Disseminate merupakan tahap penyebarluasan pengetahuan ke seluruh jajaran
organisasi dan individu. Pemanfaatan teknologi informasi yang memberikan
kemudahan akses (on-line) kapan saja serta dari mana saja merupakan sebuah
sarana untuk melakukan tahap diseminasi. Secara spesifik, untuk mendorong
keberhasilan model 3 D, perusahaan perlu membentuk secara spesifik kelompok
kerja (pokja) knowledge management saat melakukan kemitraan. Oleh karena itu,
pada saat kemitraan akan dilaksanakan dan sudah berada pada tahap kesepakatan,
aspek strategis lainnya yang perusahaan perlu tetapkan adalah adanya pokja KM
(jika belum ada). Kelompok kerja ini selanjutnya bertanggung-
jawab pada usaha
untuk memperoleh, menyerapkan dan memindahkan pengetahuan mitra ke seluruh
anggota organisasi.
Kelompok kerja ini merupakan
perwujudan Content management systems (CMS) seperti tampak pada CMS merupakan
kumpulan sumber daya stratejik yang terdiri atas people (manusia), processes
(proses), dan technology (teknologi) yang berfungsi menyediakan informasi serta
pengetahuan yang berarti dan tepat waktu kepada end user (para pengguna)
melalui penciptaan proses dalam identifikasi, pengumpulan, pengelompokan, dan
pembaharuan konten menggunakan taksonomi yang sama di seluruh jajaran
organisasi. Konten dapat termasuk database, audio clip, data persaingan,
presentasi, publikasi, e-mail, dan hasil kerja kreatif lainnya, baik dari dalam
maupun luar organisasi. Pengguna dapat mengakses konten internal dan eksternal
dari sistem yang sama dan permintaan yang sama, namun jelas sumber asal-usul
konten tersebut. Implementasi manajemen pengetahuan ini dapat terlaksana dengan
baik apabila beberapa faktor kunci yang mempengaruhi keberhasillan kemitraan
dapat dicapai oleh perusahaan.
Penelitian Wittman (2009) mengidentifikasi
bahwa peran sumber daya komplementer dan idiosinkratik sangat penting bagi
sebuah kemitraan. Meskipun demikian, Wittman et al (2009) menyatakan bahwa
adanya komplemterisasi sumberdaya antar mitra tidak serta merta menjamin
keberhasilan sebuah kemitraan. Kemitraan akan lebih bernilai apabila para mitra
melakukan penggabungan sumberdaya yang saling melengkapi untuk menciptakan
sumberdaya yang baru, yaitu sumberdaya istimewa. Sumberdaya istimewa inilah
yang akan mendorong perusahaan mencapai posisi unggul dalam persaingan.
Mohr dan Spekman (1994) menyatakan bahwa keberhasilan
sebuah kemitraan dipengaruhi oleh faktor-faktor: atribut kemitraan, perilaku
komunikasi dan teknik menyelesaikan konflik (conflict resolution). Atribut
kemitraan meliputi komitmen, koordinasi, ketergantungan dan rasa saling
percaya. Perilaku komunikasi berkaitan dengan kualitas komunikasi (akurasi,
kecepatan dan kredibilitas informasi), penyebaran informasi dan partisipasi
(tingkat keterlibatan mitra dalam membuat
perencanaan dan
tujuan). Faktor terakhir, resolusi konflik, meliputi teknik-teknik pemecahan
masalah, persuasif dan lain-lain teknik yang biasanya digunakan.
Sementara itu, menurut Tuten dan Urban (2001), keberhasilan
sebuah kemitraan dipengaruhi oleh komunikasi yang baik diantara para mitra.
Komunikasi yang baik akan mendorong perusahaan memperoleh manfaat dari
kemitraan yaitu pembiayaan yang lebih murah, peningkatan produk dan kualitas
layanan. Faktor determinan lain pembentuk keberhasilan sebuah program kemitraan
adalah aspek kepercayaan dan respek diantara para mitra.
4. Penutup
Sejalan dengan
pertanyaan yang diajukan dalam research paper ini yaitu bagaimana potensi
kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan dapat dicapai melalui kemitraan,
maka dapat dinyatakan bahwa kedua hal tersebut - kapabilitas inovasi dan
teknologi perusahaan - dapat dicapai oleh perusahaan apabila perusahaan mampu
mengembangkan sebuah mekanisme untuk mengelola pengetahuan yang diperoleh serta
melakukan komunikasi dan menggunakan teknik konflik resolusi yang tepat.
Agenda strategis selanjutnya yang harus dilakukan oleh
perusahaan adalah dengan mengembangkan dan mulai mengimplementasikan manajemen
pengetahuan dalam kemitraan yang dilakukannya. Manajemen pengetahuan yang
termaksud mulai dari sederhana (rapat rutin sebagai media proses sharing
pengetahuan) sampai dengan yang kompleks (misalnya pemanfaatan ICT -
information and communication technology).
Daftar Rujukan
Bloomqvist,
Kirsimarja. 2002. Partnering In The
Dynamic Environment: The role of Trust in Asymmetric Technology Partnership
Formation. Theses.
Collins, J. and Hitt,
M. 2006). Leveraging tacit knowledge in
alliances: the importance of using relational capabilities to build and
leverage relational capital. Journal of Engineering & Technology
Management, 23/3: 147- 67.
Farrel, M.A.
E. Oczkowski. R. Kharabsheh. 2009. Antecedents
and performance consequences of learning success in international joint venture.
Industrial Marketing Management, doi:10.1016/j.indmarman.2009.11.001
Glaister,
K.W. P. J. Buckley. 1998. Management-performance
relationships in UK join venture. International Business Review, 7,
235-257.
Hall, R. P.
Andriani. 1999. Developing and managing
strategic partnerships. European Journal of Purchasing and Supply
Management. 5. 53-65
Hamsal, Muhammad. 2009. Draft
Pengembangan Pusat Keunggulan Manajemen Pengetahuan.
Narula, R. J.
Hagedoorn. 1999. Innovating through
strategic alliances: moving towards international partnerships and contractual
aggreements. Technovation. 19.
283-294
Nielsen, Bo B. 2005. The role of knowledge embeddedness in the
creation of synergies in strategic alliances. Journal of Business Research,
58. 1194-1204
Niki, H.
D.A. Mollenkopf. 1998. Strategic
alliances formation: developing a framework for research. Unpublished
paper. Lincoln University
Mohr, J. R. Spekman.
1994. Characteristics of partnership
success: partnership attributes, communication behavior and conflict resolution
technique. Strategic Management Journal. Vol. 15, 135 - 152
Mowery, D.C
et al. 1996. Strategic alliances and
interfirm knowledge transfer. Strategic Management Journal. Vol. 17, 77 -
91
Murray, J.Y.
M.Kottabe. 2005. Performance implication
of strategic fit between alliance attribute and alliance forms. Journal of
Business Research . 58. pp. 1525 1533
Tsang,
E.W.K. 1997. Motives for strategic
alliance: a Resource-based perspective. Strategic Management Journal. Vol.
14, 207 - 221
Tsai, M. Y.
Hui-Li. 2007. Knowledge creation process
in new venture strategy and performance. Journal of Business Research. 60.
pp. 371 - 381
Wahyuni, S. 2003. Strategic Alliance Development: A study of
Alliance between Competing Firms. Research School System, Organization and
Management
Wittman, Michael. A. Shelby D. Hunt.
Dennis B. Arnett. 2009. Explaining
alliance success: Competences, resources, relational factors, and
resource-advantage theory. Industrial Marketing Management, 38, 743-756.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.