November 22, 2021

Analisis Potensi Partnership sebagai Moda untuk meningkatkan Kapabilitas Inovasi dan Teknologi

 



Abstract

Partnership becomes one of the main asset which used by the enterprise to achieve a sustainable competitive advantage. Through the partnership, the enterprise can develop their capabilities which cannot be developed by their own. A strategic alliance and joint venture is a popular way used by the enterprises in developing their partnership. Some researcher also mentioned about merger and acquisition as another form of partnership but more permanent in nature.

This article specifically aim to measure a potency of partnership as a vehicle in increasing innovation capabilities and technology within an enterprise in their effort to set up competitiveness. In particular, it is identified that a prerequisite to achieve innovation capability and technology enhancement were depend on an ability to gain, adopt, and transfer knowledge from the partner.

1.     Pendahuluan

Saat ini perusahaan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya yang dimilikinya dalam mencapai keunggulan daya saingnya. Perusahaan harus melakukan kemitraan bisnis dengan berbagai pihak, baik dengan supplier, distributor bahkan dengan konsumennya. Kondisi ini terutama dihadapi oleh perusahaan yang ingin meluaskan aktivitasnya ke pasar internasional atau global. Dengan melakukan kemitraan perusahaan memperoleh beberapa manfaat penting yaitu akses terhadap pasar, teknologi serta kapital (hal ini terutama jika perusahaan bermitra dengan mitra yang memiliki kapital yang besar). Selain itu, dengan melakukan kemitraan perusahaan dapat juga memperoleh peluang untuk melakukan inovasi, knowledge creation serta meningkatkan kapabilitas organisasi maupun sumber daya manusia.

 

Beberapa pola kemitraan yang biasanya digunakan oleh perusahaan adalah melalui aliansi strategis dan joint venture. Aliansi strategis merupakan kemitraan bisnis yang melibatkan perusahaan dengan mitra dalam rangka meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya eksternal secara sinergis dan melalui proses perubahan dan pembelajaran (Hoffman & Schlosser 2001 dalam Wahyuni, 2003). Seperti halnya aliansi strategis, joint venture merupakan salah satu bentuk kemitraan bisnis yang bertujuan memperkuat kemampuan perusahaan untuk bersaing (Thompson, Stricland and Gamble, 2010). Joint venture merupakan kemitraan bisnis dalam hal dua perusahaan atau lebih ’menyatukan’ sumberdaya-nya secara legal (Kogut, 1998).

Kemitraan tersebut pada gilirannya akan memberikan pengaruh bagi kedua belah pihak, baik secara positif maupun negatif. Secara positif, perusahaan dan mitranya dapat mengakses pengetahuan dan peluang melakukan inovasi, meningkatkan kapabilitas anggota organisasinya serta dapat mengakses kapital dan pasar bagi perluasan pemasaran produk maupun jasa. Secara negatif, kemitraan dapat membuat perusahaan memiliki ketergantungan pada mitranya. Dalam beberapa kasus, kemitraan tersebut lebih banyak memberikan manfaat bagi perusahaan yang terlibat. Pertanyaan yang ingin dielaborasi dan dideskripsikan dalam research paper ini adalah: ”Bagaimana potensi kapabilitas inovasi dan teknologi dapat diraih oleh perusahaan melalui kemitraan”.

2.     Literatur Review

Bagian ini akan membahas literatur kemitraan yang dapat dikatakan sebagai salah satu moda strategis perusahaan dalam mencapai keunggulan daya saing lestari. Pembahasan akan diawali oleh definisi kemitraan dan jenis-jenisnya, faktor-faktor yang mempengaruhi, motivasi, tujuan yang ingin dicapai.

Partnership (kemitraan) merujuk pada Mohr dan Spekman (1994) adalah hubungan strategik yang secara sengaja dirancang atau dibangun antara perusahaan-perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, manfaat bersama dan saling kebergantungan yang tinggi. Melalui kemitraan ini kedua perusahaan dapat mengakses teknologi baru atau pasar baru; kemampuan untuk menawarkan produk atau jasa yang lebih luas; skala ekonomi dalam riset atau produksi bersama; akses terhadap pengetahuan; berbagi resiko dan akses atas komplementari skill (Powel 1987 dalam Mohr and Spekman, 1994). Sementara itu, menurut Lambe et al (2000) sebagaimana dikutip Wittman et al (2009), aliansi bisnis as ”collaborative efforts between two or more firms in which the firms pool their resources in an effort to achieve mutually compatible goals that they could not achieve easily alone.”

Terdapat dua jenis kemitraan yang umumnya digunakan oleh perusahaan yaitu aliansi strategis (strategic alliances) dan joint venture. Wahyuni (2003) dalam merumuskan definisi aliansi strategis mengacu pada tiga karakteristik penting sebagaimana dikemukakan beberapa akademisi yaitu bahwa aliansi strategis merupakan persatuan dua atau lebih perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati secara sah; masing-masing pihak saling membagi manfaat aliansi dan pengendalian atas kinerja yang tercapai; mitra berkontribusi didasarkan pada satu atau lebih aspek strategis yang dianggap penting oleh mereka, seperti teknologi atau produk. Secara lebih spesifik, aliansi strategis dirumuskan sebagai suatu relasi kemitraan yang menggabungkan sumberdaya dan keahlian mereka dalam mencapai tujuan-tujuan strategis yang tidak bisa dicapai jika mereka hanya seorang diri (Wahyuni, 2003). Aliansi strategis sangat berpotensi meningkatkan dinamika kapabilitas sebuah perusahaan melalui proses organizational learning (Mowery et al, 1996). Banyak akademisi yang menyatakan bahwa dengan menggunakan aliansi perusahaan dapat memperoleh kapabilitas teknologi-based dari mitranya (Kogut, 1988; Hamel, Doz, and Prahalad, 1989; Cohen and Levinthal, 1990; Hamel, 1991 dalam Mowery et al, 1996). Moda aliansi strategis pada dasarnya muncul dalam transaksi bisnis internasional ketika join venture tidak diadopsi lagi karena kesulitan mengakses mitra di pasar luar negeri.

Join venture (JV) merupakan moda lain yang umumnya digunakan juga oleh perusahaan. JV digunakan ketika keduabelah pihak (perusahaan dan mitranya) bergabung untuk membangun sebuah perusahaan baru yang porsi kepemilikannya sama antara keduanya (Glaister & Buckley, 1998). Setiap perusahaan yang tergabung akan mengharapkan proporsional pembagian deviden yang sama sebagai kompensasi dan representasi dewan direksi. Menurut Harrigan (1985), fokus utama dalam pembahasan mengenai JV adalah ’anak perusahaan’ yang dihasilkan dari gabungan kedua perusahaan utama (parent company). Kedua perusahaan utama tersebut terlibat secara aktif dalam pemodalan serta pengambilan keputusan di anak perusahaan yang baru tersebut.

Banyak peneliti dan akademisi yang seringkali menghubungkan antara JV (terutama international joint venture) dengan aliansi strategis (Wahyuni 2003), padahal terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara JV dengan aliansi strategis. Perbedaan tersebut adalah:

JV hubungannya lebih dekat daripada aliansi

JV memiliki fokus yang lebih strategis daripada aliansi

JV lebih fokus pada pencapaian keunggulan daya saing daripada aliansi

JV memberi kontribusi yang lebih besar pada strategi produk dan pembelajaran daripada aliansi

JV membutuhkan keahlian yang lebih besar daripada aliansi

Terdapat perbedaan yang rendah dalam hal transfer keahlian antara keduanya

Terlepas dari persamaan maupun perbedaannya, saat ini JV maupun aliansi strategis menjadi salah satu tools penting bagi perusahaan dalam membangun keunggulan daya saingnya dan dalam rangka memenangkan persaingan di industrinya. Beberapa aspek stratejik dapat diperoleh perusahaan dengan melakukan kedua hal tersebut sebagai bagian dari sebuah kemitraan. Aspek stratejik tersebut adalah peningkatan pengetahuan perusahaan - maupun mitra - (Nielsen, 2005) yang dapat

memudahkan mereka melakukan inovasi (Hall et al, 2001), meningkatkan kapabilitas teknologi mereka serta efisiensi untuk mencapai menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas (Bello et al, 1999).

Menurut Wittman el al (2009) sebuah kemitraan dapat memberikan manfaat dan dampak positif bagi kedua perusahaan yang terlibat jika menggunakan pendekatanpendekatan sebagai berikut dijalankan, yaitu:

1.   Pendekatan berbasis sumberdaya. Pendekatan ini menekankan pada sumberdayayang dimiliki perusahaan. Sumberdaya dalam hal ini bermakna segala hal yang dimiliki perusahaan - baik nyata maupun tidak nyata - yang memampukan perusahaan melakukan proses produksi secara efektif dan efisie. Terdapat tiga cara untuk mengakses sumberdaya, yaitu

a)   Dengan cara mengembangkannya (baik secara mandiri maupun bersamadengan perusahaan lain)

b)   Mengakuisisi-nya (misalnya melalui merger dan akuisisi)

c)   Memperoleh cara untuk mengakses sumberdaya tersebut (misalnya melaluikemitraan dan aliansi)

2.   Pendekatan berbasis kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan untuk mempertahankan koordinasi pemanfaatan aset perusahaan yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Karakteristik kompetensi lebih luas daripada pandangan resource-based yaitu bersifat tacit, kompleks, ke-khas-an sebuah perusahaan, sebagai sumber keunggulan daya saing, merupakan sebuah proses learned by doing. Sebuah kompetensi tercipta atas dasar keterlibatan hubungan yang kompleks diantara keahlian-keahlian individu yang melekat dalam organisasi.

3.   Pendekatan faktor relasional. Hal ini merentang antara pertukaran relasi dandiskrit. Pandangan ini beranggapan bahwa keberhasilan pertukaran relasional merupakan hasil dari beberapa karakteristik hubungan yaitu aspek percaya, komitmen, kerjasama dan komunikasi.

Lebih lanjut, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa peran sumber daya komplementer dan idiosinkratik sangat penting bagi sebuah kemitraan. Meskipun demikian, Wittman et al (2009) menyatakan bahwa adanya komplemterisasi sumberdaya antar mitra tidak serta merta menjamin keberhasilan sebuah kemitraan. Kemitraan akan lebih bernilai apabila para mitra melakukan penggabungan sumberdaya yang saling melengkapi untuk menciptakan sumberdaya yang baru, yaitu sumberdaya istimewa. Sumberdaya istimewa inilah yang akan mendorong perusahaan mencapai posisi unggul dalam persaingan.

Keputusan perusahaan untuk menggunakan JV maupun aliansi strategis dipengaruhi beberapa hal. Menurut Varadarajan dan Cunningham (1995) faktor-faktor yang seringkali mempengaruhi sehingga perusahaan menggunakan JV atau aliansi strategis (disebut dengan antecedents) adalah karakteristik spesifik perusahaan dan industri, faktor-faktor lingkungan. Secara spesifik, masing-masing antecedents tersebut ditampilkan dalam Bagan berikut.

Tabel 1. Antecedents yang Mempengaruhi Kemitraan.

Firm

-

Product-market diversity of firm

 

-

Size and resources position

 

-

Prior involvement in SA

 

-

Top management attitudes

 

-

Corporate culture

 

-

Decline in Performance

 

-

Threat of Takeover

Industry

-

Minimum efficient scale

 

-

Convergence of industries and associated cost of product development

 

-

Speed of Entry to market

 

-

Cost structure

 

-

Threat of new entrants

 

-

Threat of competition from substitutes

 

-

Reduced opportunities for merger & acquisition

 

-

Lack of success in previous MA

 

-

Changes in Product Life Cycle

Environment

-

Changes in Consumer Behavior

 

-

Degree of market uncertainty

 

-

Rate of technological change

 

-

Breadth of competencies/skills required

 

-

Political, legal and regulatory environment

 

-

Growing cost of technology

 

-

Changes in cost of money

 

-

Increased global competition

 

-

Emergence of Regional trading blocs

 

Ketiga antecedent tersebut merupakan faktor-faktor eksternal yang berada di lingkungan usaha perusahaan. Untuk dapat mempertahankan eksistensinya, perusahaan perlu menyikapi secara strategis setiap perubahan tersebut. Filosofi itulah yang menyebabkan perusahaan perlu melakukan kolaborasi, kemitraan ataupun kemitraan dengan berbagai pihak - terutama yang terkait langsung dengan elemen-elemen dalam rantai nilai perusahaan.

Sementara itu, motif yang mendasari perusahaan melakukan kemitraan atau kemitraan bisnis menurut beberapa akademisi (Kogut 1988; Glaister 1996; Varadarajan & Cunningham 1995; Bortodo 1990; Howarth 1994 dalam Hynes & Mollenkopf, 1998) berkaitan dengan keunggulan biaya (cost advantage), pengurangan resiko dan ketidakpastian, perusahaan ingin menjadi organisasi pembelajar, pengelolaan pada struktur industri serta aspek waktu yang tepat.

Motif-motif tersebut sejalan dengan teori-teori pendukung misalnya usaha untuk mencapai keunggulan biaya mendapat penjelasan dari teori transaction cost economies. Sedangkan, motif untuk mengurangi resiko dan ketidakpastian didukung oleh teori resource dependency. Filosofi mendasar dari adopsi partnership yang dilakukan oleh perusahaan adalah: untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan usaha perusahaan untuk mempengaruhi lingkungannya (Varadarajan, Clark & Pride, 1992).

Sementara itu, terdapat kurang lebih empat teori utama (Hynes & Millenkopf, 1998) yang melandasi keputusan perusahaan menggunakan kemitraan (partnership) sebagai strateginya dalam usaha mencapai keunggulan daya saing di industri. Teoriteori tersebut adalah transactions cost economies (TCE), resource depedency (RD), organizational learning (OL) dan strategic behavior (SB). Berikut penjelasan dari keempat teori tersebut. Transactions Cost Economy (Williamson, 1979). Menurut teori ini perusahaan beraliansi untuk meminimalisir biaya dan resiko. Melalui kemitraan yang dibangun perusahaan berharap dapat tetap mencapai keunggulan daya saing dengan biaya dan resiko yang minim.

Resource Dependency (Glaister, 1996). Menurut teori ini, perusahaan memiliki keterbatasan dalam sumberdaya, oleh karena itu harus bekemitraan untuk mengakses sumberdaya utama. Dengan menjalin kemitraan, perusahaan pada dasarnya tidak hanya mendapat akses terhadap sumberdaya utama akan tetapi juga memperoleh pengetahuan dan kapabilitas yang merupakan sumberdaya penting bagi perusahaan dalam usahanya unggul di industrinya.

Organizational Learning. Kemitraan akan menstimulasi proses belajar serta media pembelajaran. Pengetahuan menjadi alat untuk mempertahankan dan memperoleh kompetensi (Kogut, 1988). Melalui kemitraan - khususnya aliansi stratejik - perusahaan dapat memperoleh pengetahuan penting sebagai sumberdaya utama pencapaian keunggulan daya saing (Nielsen, 2005). Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan mengenai hubungan antara pengetahuan yang diperoleh perusahaan dengan aliansi stratejik, Nielsen (2005) merangkumnya dalam Tabel 2.

Strategic Behavior : perusahaan melakukan aliansi karena mereka yakin moda ini akan memberikan kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan stratejiknya (Kogut, 1988).

Menurut Wahyuni (2003), terdapat kurang lebih enam manfaat yang dapat diperoleh dari kemitraan melalui aliansi strategis yaitu: teknologi know-how, aset finansial, persaingan, akses pasar, input, output dan pengalaman manajemen, serta sumberdaya dan kapabilitas pelengkap.

3.     Pembahasan

Bagian ini akan mengkaji secara spesifik potensi partnership yang dilakukan perusahaan dalam meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologinya. Sebelum membahas secara spesifik potensi kemitraan dalam meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan, berikut digambarkan bagan yang menggambarkan proses kemitraan dan dampak yang ditimbulkannya.

Dengan memperhatikan gambar tersebut, tampak bahwa kemitraan yang dilakukan perusahaan akan memberikan dampak dalam hal akses terhadap teknologi dan pasar baru, penawaran produk/jasa yang lebih luas, skala ekonomi dalam riset dan produk bersama, akses terhadap pengetahuan dan berbagi resiko (Powell 1987 dalam Mohr and Spekman, 1994).

Dampak terhadap Teknologi baru. Dampak pertama yang dialami perusahaan adalah mendapatkan akses terhadap teknologi baru. Ini terutama berlaku pada kemi-

Tabel 2. Beberapa Riset mengenai Pengetahuan dan SA.

Fokus kunci

Riset yang telah dilakukan

1) Pengetahuan sebagai sumber keunggulan daya saing – fokus utama pada peran manajemen yang efektif dalam

pengetahuan antar perusahaan

Anand and Khanna (2000), Grant and Baden-Fuller (2002)

2) Pengetahuan (yang saling melengkapi) sebagai aspek kondusif pembentukan aliansi – fokus pada motif dan seleksi mitra

Beamish (1998), Geringer (1988), Hitt et al. (2000)

3) Penciptaan pengetahuan – fokus utama pada bagaimana perusahaan dapat belajar pada mitra dengan cara memperoleh keahlian atau sumberdaya yang tidak dimiliki perusahaan. Isu utama adalah akuisisi pengetahuan pelengkap dan mekanisme pengetahuan tersebut ditransfer termasuk hambatanhambatannya

Grant (1996), Harrigan (1985), Balakrishnan and Koza (1993), Mowery et al (1996), Kale et al. (2000), Zander and Kogut (1995), Simonin (1999)

4) Knowledge absoption – fokus utama pada kapasitas organisasi untuk melakukan internalisasi pengetahuan

Cohen and Levinthal (1990), Szulanski (1996), Lyles and Salk (1996)

5) Collaborative knowledge – fokus utama pada pengembangan keahlian dan pengetahuan yang berguna bagi aliansi di

masa yang akan datang

Simonin (1997), Gulati (1999), Gupta and Misra (2000), Powell et al (1996)

6) Pengetahuan sebagai faktor penentu evolusi aliansi – fokus utama pada bagaimana pengetahuan diperoleh melalui aliansi

Arino dan de la Torre (1998), Doz (1996)

Sumber: Nielsen, 2005

Gambar 1. Proses Kemitraan dan Dampaknya bagi Organisasi

traan antara perusahaan yang memiliki tingkatan teknologi yang berbeda. Kemitraan seperti ini umumnya terjadi pada perusahaan di industri ICT (Information and Communication Technology). Bloomqvist (2002) menuliskan bahwa industri ini penuh dengan ketidakpastian dan kompleks sehingga perusahaan besar membutuhkan perusahaan kecil untuk melengkapi pengetahuan mereka dan meningkatkan fleksibilitas. Hal ini memunculkan kesetaraan dan saling ketergantungan diantara kedua jenis perusahaan tersebut. Lebih jauh, Bloomqvist menyatakan bahwa dalam kondisi demikian, maka dibutuhkan kemitraan teknologi yang asimetris. Kemitraan teknologi yang asimetris merupakan kemitraan yang dinamis dan multi-dimensi yang sifatnya saling melengkapi. Pengetahuan yang saling melengkapi merupakan sumber daya saing bagi perusahaan yang saling bermitra (Burt 1992, Doz & Hamel 1998, Powell 1998, Naphiet & Ghoshal 2000 dalam Bloomqvsit, 2002). Prinsip saling melengkapi tersebut berarti kedua perusahaan memperoleh manfaat atas kemitraan yang terjadi. Dalam hal ini, perusahaan besar memiliki sumberdaya finansial, sistem distribusi pengetahuan manajemen pemasaran yang ajeg, sementara perusahaan kecil memiliki kapabilitas yang dinamis, produk-produk dan jasa yang inovatif yang dapat melengkapi riset dan pengembangan produk atau jalur produk perusahaan besar. Dengan kondisi demikian, kemitraan antara perusahaan kecil dan besar berbasis teknologi dapat dipandang sebagai kendaraan untuk menghasilkan inovasi teknologi pada industri yang memiliki dinamika yang tinggi.

Dampak pada akses pasar baru. Selain berdampak pada penguasaan dan akses teknologi, kemitraan pada dasarnya akan berdampak pula pada akses terhadap pasar baru. Hal ini terutama terjadi pada perusahaan-perusahaan yang bermitra pada industri yang berbeda atau saling melengkapi serta kemitraan di tingkat internasional atau global. Dalam konteks ini, kemitraan merupakan alat dalam rangka memasuki pasar luar negeri dan sebagai alat untuk memperkuat daya saing perusahaan di pasar internasional atau global (Thompson et al, 2008). Melalui kemitraan ini tujuan yang ingin dicapai adalah riset bersama, sharing teknologi, penggunaan fasilitas produksi atau distribusi bersama serta promosi atau pemasaran bersama. Dengan kemitraan, perusahaan dapat memberikan penawaran produk atau jasa yang lebih luas.

Kemitraan dengan dampak pada pasar serta penawaran produk atau jasa tersebut, terutama terjadi pada kemitraan dalam supply chain management di industri ritel. Kemitraan ini berkaitan dengan hubungan vertikal yang terjadi di dalam rantai suplai (Mentzer et al, 2000). Seperti diketahui rantai suplai dalam industri ritel terdiri atas kemitraan yang multipel, oleh karena itu bermitra merupakan sebuah hal yang penting khususnya bagi para peritel untuk mencapai keberhasilan hubngan rantai suplai. Dalam hal ini, lebih jauh Mentzer menyatakan bahwa terdapat dua jenis kemitraan yaitu kemitraan stratejik dan kemitraan operasional. Kemitraan stratejik adalah kemitraan yang terus menerus, hubungan antar perusahaan jangka panjang yang bertujuan mencapai tujuan-tujuan stratejik, yaitu menyampaikan nilai bagi pelanggan dan keuntungan bagi mitra. Sementara itu, kemitraan operasional adalah kemitraan yang sifatnya jangka pendek dan hanya saat dibutuhkan untuk memperoleh bagian dengan pesaing.

Dampak pada skala ekonomi. Dampak ketiga yang muncul karena kemitraan yang dilakukam perusahaan adalah dampak terhadap skala ekonomi dalam riset

dan produksi. Dampak ini diperoleh berdasarkan kemitraan dalam bidang riset dan pengembangan. Hagedoorn (2002) menuliskan bahwa kemitraan R&D adalah kerjasama antar perusahaan yang spesifik dimana dua atau lebih perusahaan yang bertindak sebagai agen ekonomi dan organisasi saling berbagi aktivitas riset dan pengembangan produk ataupun jasanya. Kemitraan seperti ini terdiri atas dua kategori yaitu kemitraan kontraktual, seperti pakta riset dan pengembangan bersama; dan perjanjian pengembangan bersama serta equity-based joint ventures.

Dampak terhadap risk sharing. Kemitraan yang terjadi akan memunculkan pula pembagian resiko di antara para mitra. Hal ini disebabkan beberapa bagian dari tanggungjawab dibagi ke para mitra. Dalam hal ini, perusahaan perlu mengelola resiko-resiko yang muncul karena kemitraan yang dilakukannya. Das dan Teng (1999) menyatakan bahwa terdapat dua komponen dalam upaya pengelolaan resiko yaitu, pertama, menyadari peranan resiko yang saling terkait dan kinerja resiko. Kedua, mengetahui macam-macam resiko yang mungkin muncul. Kedua komponen tersebut diyakini dapat memberikan pemahaman dan arahan bagi manajer untuk mengelola resiko yang muncul dalam kemitraan.

Dampak pada akses pengetahuan. Dampak terakhir dari sebuah kemitraan adalah peluang bagi perusahaan untuk mengakses pengetahuan baru dari mitranya. Kemitraan, misalnya melalui aliansi strategis, memungkinkan perusahaan memperoleh kapabalitas teknologi dan pengetahuan dari mitranya. Penelitian Mowery et al (1996) menemukan bahwa equity joint ventures jauh lebih efektif memindahkan (transfer) kapabilitas daripada aliansi yang sifatnya kontrak, seperti perjanjian lisensi. Sementara itu, daya transfer dengan tingkatan yang lebih rendah terjadi pada kemitraan yang unilateral daripada yang bilateral. Hal ini membuktikan bahwa struktur dan karakteristik aliansi akan menentukan proses pembelajaran antar perusahaan, jika dalam kondisi normal. Lebih lanjut, Mowery juga menemukan pentingnya kapasitas untuk menyerap (absoptive capacity) kapabilitas akuisisi melalui aliansi. Selain itu, pengalaman di bidang teknologi yang terkait merupakan faktor penentu penting daya serap teknologi oleh perusahaan mitra.

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa dampak-dampak yang diakibatkan oleh kemitraan tersebut merupakan sebuah proses pembelajaran bagi perusahaan. Agar dapat meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan, perusahaan perlu mengelola proses pembelajaran tersebut dalam sebuah aktivitas manajemen pengetahuan (knowledge management). Hal ini dikarenakan terdapat hubungan yang erat antara pengetahuan dan pembelajaran. Organisasi akan mengalami pertumbuhan - dalam hal kompetensi dan kapabilitasnya - jika ia dapat menjadi organisasi pembelajar. Manajemen pengetahuan menjadi aspek moderator penting bagi perusahaan dalam usahanya mencapai manfaat strategis dari sebuah kemitraan - dalam tulisan ini adalah peningkatan kapabilitas inovasi dan teknologi. Collins dan Hitt (2006) menyatakan bahwa kemampuan perusahaan mengelola tacit knowledge secara efektif diantara perusahaan yang bermitra akan meningkatkan kapabilitasnya dalam merancang strategi diferensiasi ( produk dan jasanya) dibandingkan pesaing-pesaingnya. Secara spesifik, pengelolaan persediaan pengetahuan (knowledge stocks) adalah tugas utama yang dihadapi oleh

perusahaan di era ekonomi yang diarahkan oleh pengetahuan (knowledge-driven economy) seperti sekarang ini.

Adapun sistem manajemen pengetahuan digambarkan dalam Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan sistem manajemen konten sebagai bagian dalam inisiatif manajemen pengetahuan, yang dikenal sebagai Model ”3D” (Hamsal, 2009). Kegiatan ”Discover” (pencarian/penggalian pengetahuan), ”Develop” (pengembangan/penciptaan pengetahuan), dan ”Disseminate” (penyebarluasan pengetahuan) menjadi inti dalam manajemen pengetahuan antar mitra. Dengan fokus kepada ketiga elemen ini, organisasi dapat menghasilkan kapabilitas, komunikasi (koneksi), dan konten (isi) pengetahuan tertentu yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja organisasi. Bila ini berlangsung dengan baik, kapabilitas dan pengetahuan organisasi serta modal insani dapat ditingkatkan.

Dalam sebuah kemitraan, pemindahan pengetahuan (transfer knowledge) dilakukan melalui interaksi yang berulang-ulang diantara para mitra (Lane & Lubatkin, 1998; Zahra et al 2000). Menurut Collins dan Hitt (2006) pemindahan tacit knowledge membutuhkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi para mitra daripada pemindahan explicit knowledge. Pada situasi dimana mitra perusahaan menghadapi tantangan lain, misalnya perbedaan budaya atau rendahnya pengetahuan mitra mengenai informasi yang tidak spesifik, maka dibutuhkan usaha yang lebih besar lagi dalam usaha mengembangkan tingkat kepercayaan antar mitra. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas pemindahan tacit knowledge dibutuhkan pula kapabilitas relasional perusahaan yang bermitra. Berdasarkan risetnya terhadap kemitraan antara Tesco dan Safeway, Collins dan Hitt menemukan bahwa i kedua perusahaan memperoleh posisi yang lebih baik di industrinya. Hal ini disebabkan, melalui kemitraan juga dikembangkan kapabilitas untuk membangun dan meningkatkan modal relasional dalam rangka memindahkan tacit knowledge (p. 163). Secara spesifik, modal relasional yang dimaksud bentuknya adalah komunikasi yang intensif, pertemuan atau rapat di lokasi perusahaan dan kunjungan mitra. Selain membentuk modal relasional, menurut kedua peneliti tersebut, hal tersebut dapat menciptakan juga mekanisme yang bernilai dalam rangka memindahkan pengetahuan.

Peran pengetahuan pada saat ini diyakini dapat meningkatkan kapabilitas perusahaan dan merupakan sumber kritis pengembangan sumberdaya perusahaan. Pengembangan pengetahuan sebagai sumberdaya secara efektif dapat menjadikannya menjadi salah satu keunggulan daya saing perusahaan (Grant, 1996). Banyak peneliti melakukan penelitian dalam upayanya mengeksplorasi peran manajemen pengetahuan ini, khususnya dikaitkan dalam perspektif organisasi pembelajar (organizational learning) (Nielsen, 2005). Berkaitan dengan kemitraan - khususnya aliansi strategis - penelitian terutama dikaitkan dengan asumsi bahwa pengetahuan akan mendukung pembentukan aliansi dan tujuan dari aliansi, yaitu memperoleh, menyerap dan memindahkan pengetahuan (misalnya Hitt et al, 2000; Lyles & Salk, 1996 dalam Nielsen 2005). Menyadari hal tersebut, maka inisiatif manajemen pengetahuan dalam sebuah kemitraan merupakan antisipasi perusahaan terhadap tuntutan faktor eksternal dan internal dalam organisasi. Tuntutan faktor eksternal adalah kompetisi pada tingkat domestik maupun global yang mengharuskan perusahaan mengelola aktivitas bisnisnya secara efektif dan efisien. Sedangkan, tuntutan faktor internal

berkaitan dengan pentingnya menciptakan kompetensi inti dan kompetensi unik perusahaan untuk mencapai keunggulan daya saing yang lestari. Kegiatan pengelolaan pengetahuan ini (knowledge management) merupakan kegiatan mengeksplorasi, menghasilkan, men-diseminasikan serta menggunakan pengetahuan dalam upaya mendorong kinerja perusahaan secara maksimal.

Agar kemitraan yang dilakukan perusahaan dapat meningkatkan kapabilitas inovasi dan teknologikalnya maka perusahaan dapat menggunakan inisiatif manajemen pengetahuan (Model 3 D). Pada tahap Discover, perusahaan dapat melakukan eksplorasi berbagai pengetahuan yang dimiliki mitra baik yang sifatnya tacit maupun eksplisit. Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah mengumpulkan/menggali informasi, ketrampilan, dan pengalaman dari individu kunci di perusahaan mitra.

Tahap Develop adalah merupakan tahap dalam hal menghasilkan atau mengembangkan sebuah pengetahuan yang berasal dari kondisi nyata di organisasi. Penciptaan atau pengembangan pengetahuan ini akan mendukung kapabilitas organisasi dan peningkatan modal insani organisasi. Tahap Disseminate merupakan tahap penyebarluasan pengetahuan ke seluruh jajaran organisasi dan individu. Pemanfaatan teknologi informasi yang memberikan kemudahan akses (on-line) kapan saja serta dari mana saja merupakan sebuah sarana untuk melakukan tahap diseminasi. Secara spesifik, untuk mendorong keberhasilan model 3 D, perusahaan perlu membentuk secara spesifik kelompok kerja (pokja) knowledge management saat melakukan kemitraan. Oleh karena itu, pada saat kemitraan akan dilaksanakan dan sudah berada pada tahap kesepakatan, aspek strategis lainnya yang perusahaan perlu tetapkan adalah adanya pokja KM (jika belum ada). Kelompok kerja ini selanjutnya bertanggung-

jawab pada usaha untuk memperoleh, menyerapkan dan memindahkan pengetahuan mitra ke seluruh anggota organisasi.

Kelompok kerja ini merupakan perwujudan Content management systems (CMS) seperti tampak pada CMS merupakan kumpulan sumber daya stratejik yang terdiri atas people (manusia), processes (proses), dan technology (teknologi) yang berfungsi menyediakan informasi serta pengetahuan yang berarti dan tepat waktu kepada end user (para pengguna) melalui penciptaan proses dalam identifikasi, pengumpulan, pengelompokan, dan pembaharuan konten menggunakan taksonomi yang sama di seluruh jajaran organisasi. Konten dapat termasuk database, audio clip, data persaingan, presentasi, publikasi, e-mail, dan hasil kerja kreatif lainnya, baik dari dalam maupun luar organisasi. Pengguna dapat mengakses konten internal dan eksternal dari sistem yang sama dan permintaan yang sama, namun jelas sumber asal-usul konten tersebut. Implementasi manajemen pengetahuan ini dapat terlaksana dengan baik apabila beberapa faktor kunci yang mempengaruhi keberhasillan kemitraan dapat dicapai oleh perusahaan.

Penelitian Wittman (2009) mengidentifikasi bahwa peran sumber daya komplementer dan idiosinkratik sangat penting bagi sebuah kemitraan. Meskipun demikian, Wittman et al (2009) menyatakan bahwa adanya komplemterisasi sumberdaya antar mitra tidak serta merta menjamin keberhasilan sebuah kemitraan. Kemitraan akan lebih bernilai apabila para mitra melakukan penggabungan sumberdaya yang saling melengkapi untuk menciptakan sumberdaya yang baru, yaitu sumberdaya istimewa. Sumberdaya istimewa inilah yang akan mendorong perusahaan mencapai posisi unggul dalam persaingan.

Mohr dan Spekman (1994) menyatakan bahwa keberhasilan sebuah kemitraan dipengaruhi oleh faktor-faktor: atribut kemitraan, perilaku komunikasi dan teknik menyelesaikan konflik (conflict resolution). Atribut kemitraan meliputi komitmen, koordinasi, ketergantungan dan rasa saling percaya. Perilaku komunikasi berkaitan dengan kualitas komunikasi (akurasi, kecepatan dan kredibilitas informasi), penyebaran informasi dan partisipasi (tingkat keterlibatan mitra dalam membuat

perencanaan dan tujuan). Faktor terakhir, resolusi konflik, meliputi teknik-teknik pemecahan masalah, persuasif dan lain-lain teknik yang biasanya digunakan.

Sementara itu, menurut Tuten dan Urban (2001), keberhasilan sebuah kemitraan dipengaruhi oleh komunikasi yang baik diantara para mitra. Komunikasi yang baik akan mendorong perusahaan memperoleh manfaat dari kemitraan yaitu pembiayaan yang lebih murah, peningkatan produk dan kualitas layanan. Faktor determinan lain pembentuk keberhasilan sebuah program kemitraan adalah aspek kepercayaan dan respek diantara para mitra.

4.     Penutup

Sejalan dengan pertanyaan yang diajukan dalam research paper ini yaitu bagaimana potensi kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan dapat dicapai melalui kemitraan, maka dapat dinyatakan bahwa kedua hal tersebut - kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan - dapat dicapai oleh perusahaan apabila perusahaan mampu mengembangkan sebuah mekanisme untuk mengelola pengetahuan yang diperoleh serta melakukan komunikasi dan menggunakan teknik konflik resolusi yang tepat.

Agenda strategis selanjutnya yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah dengan mengembangkan dan mulai mengimplementasikan manajemen pengetahuan dalam kemitraan yang dilakukannya. Manajemen pengetahuan yang termaksud mulai dari sederhana (rapat rutin sebagai media proses sharing pengetahuan) sampai dengan yang kompleks (misalnya pemanfaatan ICT - information and communication technology).

Daftar Rujukan

Bloomqvist, Kirsimarja. 2002. Partnering In The Dynamic Environment: The role of Trust in Asymmetric Technology Partnership Formation. Theses.

Collins, J. and Hitt, M. 2006). Leveraging tacit knowledge in alliances: the importance of using relational capabilities to build and leverage relational capital. Journal of Engineering & Technology Management, 23/3: 147- 67.

Farrel, M.A. E. Oczkowski. R. Kharabsheh. 2009. Antecedents and performance consequences of learning success in international joint venture. Industrial Marketing Management, doi:10.1016/j.indmarman.2009.11.001

Glaister, K.W. P. J. Buckley. 1998. Management-performance relationships in UK join venture. International Business Review, 7, 235-257.

Hall, R. P. Andriani. 1999. Developing and managing strategic partnerships. European Journal of Purchasing and Supply Management. 5. 53-65

Hamsal, Muhammad.     2009. Draft Pengembangan Pusat Keunggulan Manajemen Pengetahuan.

Narula, R. J. Hagedoorn. 1999. Innovating through strategic alliances: moving towards international partnerships and contractual aggreements. Technovation. 19.

283-294

Nielsen, Bo B. 2005. The role of knowledge embeddedness in the creation of synergies in strategic alliances. Journal of Business Research, 58. 1194-1204

Niki, H. D.A. Mollenkopf. 1998. Strategic alliances formation: developing a framework for research. Unpublished paper. Lincoln University

Mohr, J. R. Spekman. 1994. Characteristics of partnership success: partnership attributes, communication behavior and conflict resolution technique. Strategic Management Journal. Vol. 15, 135 - 152

Mowery, D.C et al. 1996. Strategic alliances and interfirm knowledge transfer. Strategic Management Journal. Vol. 17, 77 - 91

Murray, J.Y. M.Kottabe. 2005. Performance implication of strategic fit between alliance attribute and alliance forms. Journal of Business Research . 58. pp. 1525 1533

Tsang, E.W.K. 1997. Motives for strategic alliance: a Resource-based perspective. Strategic Management Journal. Vol. 14, 207 - 221

Tsai, M. Y. Hui-Li. 2007. Knowledge creation process in new venture strategy and performance. Journal of Business Research. 60. pp. 371 - 381

Wahyuni, S. 2003. Strategic Alliance Development: A study of Alliance between Competing Firms. Research School System, Organization and Management

Wittman, Michael. A. Shelby D. Hunt. Dennis B. Arnett. 2009. Explaining alliance success: Competences, resources, relational factors, and resource-advantage theory. Industrial Marketing Management, 38, 743-756.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar